Dia melambaikan jemarinya dikejauhan akupun membalasnya serupa. Dia tertawa memberi kode dengan senyum dan gerak tangannya. Inka seperti kapas, gemulainya begitu ringan seperti penari. Dia perempuan banget, tapi kelembutannya menyimpan nyala pengelana yang begitu kuat, perkasa disapa alam.  Dijarak kaca penjemput kulihat tubuh rampingnya yang gesit dan sekilas kulit wajahnya merona coklat mentari meski  tak lekang rupawan.
Serampung beberes bagasi raksasa yang menelan tubuh mungilnya, Inka berlari menjelang. Dan kami berciuman, tanpa kusadar bahwa ini  kurang pas untuk bumi Indonesia tidak seperti negara eropa.
Selintas langkah keluar gerbang terminal tiga, dobel kabinnya telah menanti siap memuat backpack besar dan segala tetek bengek tualang. Lalu kami melaju, diremang jok kabin lembut Inka terlelap rebah didadaku.
4.
Hari sore di kafe kofi yang dindingnya hijau lumut. Â Kami berbincang dan mereposisi kembali saat ketika aku agak mati nafas.
"Bri, lusa aku diundang  rundown di Bernheim riset forrest. Kamu bisa ikut, Yang" Inka membuka ringan sambil menyruput kapucinya. Bibir indahnya tersaput putih sisa busa tegukan kofi putihnya. "Please.." dia menumpuk telapak tangan mungilnya dilenganku.
"No, Ink.."
"Kamu bisa eksplor segala pasion sastra disana. Louisville, derby Kentucky atau vintage Philadelphia nearby..?" mata beningnya merajuk. Aku menggeleng menyapukan punggung tanganku ke pipi tirusnya. Membayangkan terbang melintas samudra pasifik duapuluh dua jam membuat perutku meluah.
"Kamu pergilah, Ink.." ku menyahut sayup untuk tanpa lagi hasrat membahasnya lebih.
Selebihnya kami banyak berdiam, namun kami tak lepas berpegangan tangan, di kafe yang merajut malam menurunkan gelap menuju sempurna, yang melajukan cinta kami masing masing bukan lagi cinta berdua. Inka meleleh.Â
Matanya membasah dan air matanya mengalur. Sedang aku? Seperti kehabisan nafas puisi. Cuma bisa membelai rambut londonya dan membisikkan. It's ok, kita masih berkesempatan membicarakannya lagi sepulang kamu dari KY (Kentucky).