Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Otak yang Pulang ke Sahabat Lamanya

30 Juli 2019   01:07 Diperbarui: 30 Juli 2019   01:39 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam kali ini tidaklah pekat, tidak seperti sebelumnya. Aku menatap tinggi dan hanya terpandang  keperakan. Itu rona bintang yang terbias oleh barisan air hujan lalu membuat malam berwarna perak.

"Kamu tertarik, bang?" pacarku Jelita tertawa renyah.

"Jangan kau tatap menjulang! Pedih nanti mata indahmu!" aku memperingatkan setengah setengah.

"Aku suka abang.. menatap nyala perak meski gerimis memburu mataku. Abang..?" dia menentang senang.

"Jelita. Kita beringsut. Segera hujan melebat. Ayok!"

"Sedikit lagi abang.."

"Sudahlah.. lihat warna perakmu sudah kelabu. Ayook!" aku menggegas lengan putihnya.

"Ya..ya..ya.." sahutnya manja seperti iklan tempo silam. Lalu dia melompat. Hap! Tubuh rampingnya bertebar indah.  Akupun sigap menangkapnya. Hup! Segera kami berklari, berkejaran dengan hujan yang menderas.

Itulah Jelita pacarku manis, si penanti hujan dan penyenandung mendung. Dia akan bernyanyi merdu perlahan saat hidung lancipnya menghisap aroma kedatangan hujan. Membungkam katak yang siap menggelembungkan perutnya menyambut udara hujan, urung mengkungkung ketika alunan Jelita terdengar mendahului.

***

Tapi itu dahulu, sepuluh tahun yang lalu, sebelum kepergiannya ke alam surga. Setelah tumor di otaknya meluluh lantak fisik dan batinnya. Jelita pulang selamanya, meninggalkan bumi dan aku sendiri, yang sampai sekarang memanggul lara yang masih juga terasa memanjang.

Akupun masih terus berpikiran mengapa kepalaku enggak sekalian saja senasib seperti kepala Jelita sayang, sehingga kami bisa tetap barengan kemana alam apapun menuju.

"Ooo.. Jelita.." aku masih kadang mengunggah namamu di benak pupusku, terlebih ketika hujan air keperakan turun menderai dimalam yang lambat.  

Dan pembaca tau (kalau masih ada yang mau terus baca)? Saat terkini, aku mulai mengidap rasa kebencian kepada otak yang ada dibalik kulit batok kepalaku. Entah mengapa, perasaan itu begitu menguat bersama waktu berjalan dari hari ke hari.

Kadang menyiksa sangat, saat ku merasa bahwa batok kepalaku seperti mengunci rapat, sehingga menguat hasrat niatku melarikan otak keluar dari kepalaku ke suatu tempat  nan nyaman. Sama seperti seorang narapidana yang mungkin melarikan diri ke rumahnya, jika pintu penjara terbuka. Begitu juga otakku akan pergi jika tutup batokku lepas dari kepala.

***

"Teramat menyakitkan dan semakin menyiksa, dokter" suatu saat aku berkonsultasi  dengan dokter  jiwa dan saraf. Itupun atas saran superiorku di perusahaan tempatku berkarir.

"Secara Patologi Analitik, anda normal. Scan otak juga oke!" dokter bewok itu menerangkan.

"Tapi dok, aku ngeri bila kemudian tak menguasai  diri lagi. Bisa bisa aku membuka kepalaku sendiri..Oh.." aku meradang.

Dokter hanya menekuri wajahku. "Eh! Apakah kamu punya sahabat lama yang tak pernah kamu jumpai?" tiba tiba dia bertanya dengan mimik tak berubah.

"Ndak ada dok. Dokter ngarang sih.." aku komplen.

"Sudah. Sudah. saya kasih resep, mudah mudahan cespleng ini" sergahnya tanpa hirau.

Entah kenapa akupun mengiyakan saja, dan segera menebusnya ke dispensary lalu pulang kerna malam ternyata kembali diguyur hujan.

Obatpun ku telan sebelum ku mendarat diperaduan, kerna tiba tiba badanku merasa lelah menanggung ronta otak di dalam benakku, membuatku begitu cepat terlelap pelor (nempel molor).

Di alam tidur kurasakan mimpi,   bahwa batok kepalaku  terbuka dan dengan serta merta otakku pun tak tertahan bergegas melanglang. Aku berusaha mengejar di belakangnya meski dengan nafas menggeh menggeh. Hingga pada akhirnya tiba disatu ruang tak hingga bercahaya perak yang berasal dari satu sosok tanpa bentuk. Otakku terhenti disitu demikian pula ku berhenti dibelakangnya.

Kulihat kehadiran kekasihku Jelita berdiri anggun disisi sosok cahaya perak itu, dia terlihat jauh lebih muda dan mempesona, mengenakan sayap putih dipunggungnya bak sayap Pegasus.

"Inilah kawan lama mu!" suara merdu Jelita mengenalkan sosok cahaya disampingnya.

Aku terpana, bersamaan pula otakku yang berada didepanku, mengirimkan sinyal terjemahan yang bisa kupahami yang mengatakan.

"Itulah jiwamu"   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun