Akupun masih terus berpikiran mengapa kepalaku enggak sekalian saja senasib seperti kepala Jelita sayang, sehingga kami bisa tetap barengan kemana alam apapun menuju.
"Ooo.. Jelita.." aku masih kadang mengunggah namamu di benak pupusku, terlebih ketika hujan air keperakan turun menderai dimalam yang lambat. Â
Dan pembaca tau (kalau masih ada yang mau terus baca)? Saat terkini, aku mulai mengidap rasa kebencian kepada otak yang ada dibalik kulit batok kepalaku. Entah mengapa, perasaan itu begitu menguat bersama waktu berjalan dari hari ke hari.
Kadang menyiksa sangat, saat ku merasa bahwa batok kepalaku seperti mengunci rapat, sehingga menguat hasrat niatku melarikan otak keluar dari kepalaku ke suatu tempat  nan nyaman. Sama seperti seorang narapidana yang mungkin melarikan diri ke rumahnya, jika pintu penjara terbuka. Begitu juga otakku akan pergi jika tutup batokku lepas dari kepala.
***
"Teramat menyakitkan dan semakin menyiksa, dokter" suatu saat aku berkonsultasi  dengan dokter  jiwa dan saraf. Itupun atas saran superiorku di perusahaan tempatku berkarir.
"Secara Patologi Analitik, anda normal. Scan otak juga oke!" dokter bewok itu menerangkan.
"Tapi dok, aku ngeri bila kemudian tak menguasai  diri lagi. Bisa bisa aku membuka kepalaku sendiri..Oh.." aku meradang.
Dokter hanya menekuri wajahku. "Eh! Apakah kamu punya sahabat lama yang tak pernah kamu jumpai?" tiba tiba dia bertanya dengan mimik tak berubah.
"Ndak ada dok. Dokter ngarang sih.." aku komplen.
"Sudah. Sudah. saya kasih resep, mudah mudahan cespleng ini" sergahnya tanpa hirau.