Melewati album sukacita sekolah mungil ku, taksi perlahan memedal jalan menanjak, menyusur lintas yang sedikit sepi tapi sejuk dengan daun hijau di kiri kanan. Aku tertawa sendiri di kalbu.
"Pak taksi. Ini jalan menuju kampusku dulu, lho?" kataku spontan menyerocos senang. Kembali pak sopir hanya tersenyum sembari mengangguk angguk.
"Itu ruang kuliahku. Itu taman kampus. Itu ..itu.." tanganku menunjuk kebanyak arah tempat, layaknya bocah melihat banyak mainan atau menonton sirkus. Pak sopir menyentuh spion depan memastikan seperti apa lagakku, namun segera kembali fokus ke jalan yang mulai berkelok. Hingga tak lama melewati hamparan sawah yang keemasan yang tebungkuk tertiup angin.
"Whats? Pak sopir ini tempatku bekerja praktek pertanian. Ladang padi yang tiap hari kami mahasiswa pertanian akhir siangi. Waah..indahnya?" Hatiku bergejolak dengan mulut ternganga. Lagi lagi pak taksi menghadapi dengan senyuman seperti dewa sembilan belas.
Aku sendiri kehilangan muram dan galau, merasakan excited dan seperti jadi berserah kepada pak taksi membawaku kelana.
Sampai tak terasa langit petang mulai menerpa, matahari terlihat berjalan melewati kami, perlahan membenam di cakrawala barat. Â Taksi berhenti di lintasan kereta api menunggu. Mobil taksi kami bersejajar dengan arah kereta ketika kutatap kesisi, dari kereta disisiku, kurasakan bahwasanya kami lah yang berjalan bukan kereta itu.
Lalu aku memutar kaca jendela dan melongokkan kepala, menatap mentari yang sedang berjalan terbenam. Ternyata aku salah, bukan matahari yang melewati kami, tapi kami yang melaluinya. berarti kami lah yang meninggalkan matahari. Sekejap kurasa menyedihkan kembali ke tempat senduku awal semula. Karena aku pikir, aku mulai mencerna perjalanan ini.  Â
Betul kiranya, saat senja sempurna. Taksi mulai memasuki pintu gerbang tujuan.
"Berhenti sebentar ya pak?" aku menyapa lirih. Dan taksi perlahan berhenti.
Melangkah keluar aku menatap dari muka gerbang, gelap dan menakutkan yang memang kurasakan selalu semenjak kecil. Apakah betul tempat itu ada di sana? Aku, antara tak ingin tahu dan sekaligus  mengelak. Ah, aku tak menyukainya. Atau? Apakah mereka menyukaiku? Atau? Inikah koda yang menyedihkan? Salah satu jeda berabad sebagai penukar dari hari hari? Adakah kebosanan tak terbatas disana karena seperti nampak tanpa ada jaminan?
Kembali kutatap remang lebih jauh, tak ada yang berubah, hanya bahwa berabad abad telah berlalu.