"Selamat pagi" Supir taksi ramah berseru lewat sisi kaca kemudi yang terbuka. Itu seperti tanda akrab bahwa aku lah penumpangnya. Aku yang sunyi berdiri dimuka pekarang rumah merunduk mencoba menegaskan rupa pak sopir. Terlihat wajah riang yang lembut pak sopir tua, yang segera saja menurunkan was was disemenjak pagi yang diselimuti mendung muram. Aku memutar dan membuka pintu belakang untuk duduk senyaman yang aku mau, sekalian mengusir resah yang tak luput sirna.
"Berangkat ya Non" dia mencuri wajahku lewat spion kemudi, sementara aku mengangguk setuju.
Taksi melaju menuju tertuju, perlahan tanpa tergesa, seakan berusaha menghapus kegelisahan hati.
"Perjalanan ini lumayan jauh Non, dan akan memakan waktu yang cukup lama" Sopir tua menjelaskan kata sabarnya. Aku kembali mengangguk mengiakan.
Lalu hanya kedap. Taksi membawaku kembali di kesendirian dalam aroma lembut pengharum kendaraan yang terhirup dari kursi belakang.
"Non mau langsung lewat tol atau berputar di arteri saja?" Sang sopir memecah hening.
"Mmm terserah saja bapak" Aku sendiri sedang segan bergegas.
"Baiklah. Kita berputar Non"
"Boleh"
Taksi pun urung menembus gerbang bebas hambatan, menyimpang ke jalan kebiasaan sehari hari ku semenjak sebelum lahirnya aspal aspal tol. Sedikit galauku terhibur menoleh sisi jalan yang begitu mengental di benak. Seperti pengulangan kebahagiaan kenangan yang tak mudah kulepaskan. Dan pak taksi seperti sehati mengikuti alur hatiku. Saat kami melalui sekolah taman kanak kanak dan sekolah dasar tempat puncak keindahan bermain di silam ku. Permainan kasti, petak umpet hingga merangkai anyam kertas krep rupa warna. Membuatku tersenyum oleh sengatan rindu mengenai persoalan keluguan masa kecil.
"Ini sekolah tk dan sd saya pak!" tanpa sadar aku mengoceh riang. Pak taksi hanya tersenyum tanpa sepatah, dia setengah konsen perihal lalu lintas yang ramai.