"Mereka membungkamku dalam prosa" aku, Gio membisiki karibku.
"Hah? Bukankah kau sudah ditahbiskan menjadi raja syair, saudaraku Gionardo" Sang kawan bertutur heran.
"Tak sesederhana itu, Ferguso!"
"Lalu?"
"Entahlah sekarang sair sairku menyerang diriku. Mereka sekarang menjadi seteru"
"Bukankah kau mengagungkan kebebasan? Kau ingat itu, Gio?"
"Kupikir kebebasan puisi itu dewa. Nyatanya tidak lagi, Ferguso"
"Ah! Bicara apalagi kau?"
"Monarki ini merusak jiwaku. Admin, privilege, follower, framing dan hidden trade. Semua ini memerangkap kesadaranku"
"Kesadaran?"
 "Iya. Kesadaran yang semula adalah bentuk dari kebebasan, sekarang menjelma menjadi penawanan. Aku merasa kesadaranku mulai menyerang diriku sendiri".
"Kau perlu rehat Gio"
"Sudah kucoba, hanya membuat kepalaku pecah. Please tolong aku, bukankah kau seorang dokter jiwa Ferguso!"
"Pulanglah Gio. Aku berikan kau pil tenang. Kuncilah kamarmu. Dengar kataku, kunci kamar tidurmu"
"Oke. Aku akan menurutimu, Ferguso!"
Ferguso memberiku pil dari kantungnya, dan aku menyalaminya erat. Ada rasa pesimisme ketika ku tinggalkan bayangnya di kekelaman.
Langkah kaki kurasakan berat menjemput kamar sewa yang kusam minim cahaya. Kubuka pintu dan seperti saran dokter Ferguso, aku meyakinkan kunci kamarku double klik.Â
Dan aku merasakan mengunci pintu  dengan kunci imajiner menjadi metafora pikiranku. Aku merasakan ruang inilah sebagai tengkorak dan jiwaku sebagai penyair. Aku senyum, bener juga kamu sahabat Ferguso, aku terbebaskan dari perawatan luar oleh kurungan ini. Jiwaku bisa dengan berani menjelajah melampaui alam duniawi  dan masalah masalah kefanaan.
"Kesadaran yang muncul dari pembuangan adalah kesadaran yang kebebasannya tidak menyandera lagi. Ferguso, aku menemukan kebebasan langit!" aku terpekik sendiri diruang terkunci.
Aku menelpon dokter Ferguso, kelewat gembira.
"Kawanku!"tuturku.
"Bagaimana saudaraku" suara Ferguso lembut menjawab di seberang.
"Aku telah memutar kunci di kunci pintu" kataku
"Hahaha.., kau berhasil Gio"
"Iya! Dan aku tak mau kembali. Sudah kuputuskan kan kulempar takhta penyair ku Ferguso!"
Sepi suara diseberang. Telpon lawan nampak terjeda.
"Ferguso? Helo?" Apa kau menyimak?"
"Iya?!"
"Aku akan melepas penjara ini. Kepalaku tak lagi mampu  menahan suara suara Lucifer tentang pikiran yang bisa membuat surga neraka dan neraka surga. Aku telah mengunci kekacauan kesadaran ini menjadi kedamaian, Ferguso"
"Gionardo! Jangan!" suara Ferguso diseberang bergetar, tapi sudah terlambat.
"Dor!" revolver yang melekat di pelipisku menyalak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H