Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Temen Makan Temen

17 Maret 2019   01:39 Diperbarui: 17 Maret 2019   01:45 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

April tau hubungan ini bakal berakhir. Dan aku menyilakan ruang bagi jalan itu, melenggang tanpa keriuhan bahkan suara. Kami mulai membeku dipertemuan yang jarang, meja berbicara pula semakin membisu. Hanya saling menanti siapa terlebih dahulu meretas hati. Barangkali gengsi, ah, aku menegas bukanlah, ini risalah hati mengenai membuang cita cita menjadi kenangan, duh, beratnya melepas kisah sarat nilai ke kesia siaan. Tepatnya begitu, waktu indah yang begitu panjang tiba tiba silam. Gilalah aku!

April merunduk memainkan jemari, wangi baju hangatnya menyapu nafasku, fragrans tubuhnya mengurung meja minum kami.  Wewangi yang mungkin paling akhir bakal pupus sebelum kenangan hinggap berkuasa.

"Apakah kita sudah tiba di adegan akhir, Apre" aku membuka kata di lampu meja temaram.

"Mmm...." April tak meneruskan gerak bibir merahnya.

"Apre.."

"Putus atau sambung bukan persoalan. Melepas  cinta lima tahun yang sudah terkirim, membuat kita sesak. Iya kan Dre?"

"Tak mudah namun harus, Apre"

"Iyups.." April menyorotkan matanya.

"Iyups.." aku menirukannya.

"Apre.."

"Andre.."

Kami saling bersentuhan tangan, tanda setuju mengakhiri masa pacaran kami, usaikan sebuah fatamorgana cinta fiksi, yang meski memiliki tujuan jelas, hanya itulah, jodoh memang tak pasti.

"Sudahlah.." aku menghapus genangan air dimendung mata April.

"Kita akan tetap basudara, bukan begitu Dre?" April bertutur lirih

"Mmm.. aku kagak tau Apre.. Mungkin tidak ya.."

"Kau kejam, Dre!"

"Nup!" aku menggeleng pelan.

"Why?"

"Kita selesai dan bukan saudara. Kita tak perlu ruang  lagi untuk kembali. Itu yang terbaik. Ini buat kebaikan kita kedepan, no heart feeling for future"

"Oo, Seperti itu?"

"Yoi"

Lalu kami terdiam, keluar saung bersama menatap bintang di langit. Tidak lagi memohon kepada bintang berpijar, kecuali memohon ikhlas,enggak sakit hati.

"Besok tak lagi kita ya?"

"Mmm.."

Dan akhirnya kami berpelukan teletubies untuk kemudian berpisah.

***

Satu minggu kelar bersama April, aku berusaha tegar melanjutkan hidupku. Rasa tak percaya tetap menghantui, ditengah sakitnya tiada restu orang tua April, yang semula remang ,seiring waktu berubah menjadi jelas, menjadi alasan satu satunya untuk kami berpisah. Aku toh, juga ogah menjadi malin kundang yang tidak menurut orang tua atau maratuwa.  Restu orang tua adalah utama, kata April, meskipun aku dan April sudah kasip umur untuk menikah, cukup matang meski belum bosok.

Melewati hari hari hangat tanpa April memang berat, namun dengan dukungan dari karib dekat, segala menjadi ringan walaupun ada sedikit ke purapuraan. Aku menjalani saja antara kenyataan dan khayalan, kongkou bareng teman gengs, hampir saban malam.

Hingga satu ketika ditempat ngopi biasanya, aku tak mendapati kawan nongkrong ku. Hanya meja kami yang sepi tak lajimnya. Dimana mereka? Kupesan kopi sepi dengan rasa aneh.

Kubertanya kepada coffeetender, apa dia melihat karib gerombolanku.

"Ah iya, mereka sudah pulang Pare" dia menjelaskan.

"Hah? Jam berapa ini?"

"Setengah dua belas, Pare"

Aku melihat arlojiku.

"Pantes mati, huh.. Oke deh, aku cabut brow"

Coffeetender tersenyum, mencegahku berdiri.

"Sori Pare! Ini milik teman Pare, tertinggal. Berdering mulu" dia menyodorkan HP yang familier.

"April?" aku menyambut kegenggamku.

"Kelihatannya HP cewek yang bersama teman teman Pare tadi" dia mengangkat bahu ragu.

Kupandang screen image yang sudah berubah. Seraut wajah lelaki, Doni teman dekatku terpampang dipembuka. Dahiku berkerut kepo. Kusapu touch screen dan terbaca whatsapp baru masuk.

"April, jangan lupa besok foto prewed, loh. 

Love Donce"

Wajahku terasa dingin, mataku dipenuhi kunang kunang. Gubrak! Aku seperti pingsan.

"Bos! Bos! Bangun! Itu temannya dateng" suara coffeetender  jongkok ke telingaku.

"Temen makan temen" kurespon setengah sadar

"Pake nasi, bos" dia berbisik pelan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun