Tengah malam menjelang, gelaplah pasti, awan awan yang menggumpal pun tersaru hitam. Mendung terlacak hanya dari petir yang samar terdengar, kerna selisih muatan minusnya yang masih dini. Â Barangkali hujan masih jauh. Begitu Endi merenung, ditengah langkah limbung tak lurus segaris, meninggalkan gedung markas pembekalan strategi juara caleg partai, menuju kamarnya, executive room hotel berbintang lima.
Jleb! Pintu kamar digitalnya menutup empuk. Menggapai minuman ringan, lalu melempar badan di sofa lembut, sedikit membuang muatan dikepalanya yang semula dirasakan edan menyengat. Berbayang wajah wajah caleg yang pandai berbicara lebar tapi tidak bermutu, semakin memberatkan otaknya. Untuk mengangkat pikiran mereka ke level yang lumayan saja susah, dia pesimis. Bayang kekalahan suara di pileg yang menjadi tumpuan membuatnya meremang.
Endi, adalah salah satu petinggi partai yang frugal, cermat, cerdik juga sinikal. Analisis dan cangkemnya tajam, mengiris kawan dan lawan. Strategi politiknya sangat impulsive, langsung menghujam ke core nya, mudah dicerna namun penuh siasat, baik secara privat maupun gerombolannya.
Tetapi edukasi sekarang jauh berbeda dengan jamannya. Literasi sekarang  dirasakan bias, miring lagi, sehingga bisa kesana kesini, susah diprediksi. Itulah yang meresahkan, Endi menjadi gugup memflashback literaturnya yang usang, mau gimana lagi, pikiran pun buntek, kerna konsepnya tidak termakan di keping kepala para yuniornya.
Sedang, sang superior sudah meletakan mahkota di kepalanya, soal suara target di pileg dan pilpres kali ini kudu moncer.
Wahduh!
Endi berbaring teler.
Tulit tulit tulit.. ifon nya berduring dering.
"Helo!"
"Perang total?"
"Hah?"