Malam hari aku melayat  almarhum, yang ternyata tinggal dibelakang jalan sejajar rumahku. Dan dia ternyata seorang duda penyendiri, tanpa anak dan istri. Orang tertampak berkumpul mendoakan, setiba ku memasuki halaman rumahnya,  mataku melihat kucing Gendut sobatku sedang duduk menyendiri di pojok teras.
"Puuss.. Gendut.." aku berlari menyongsongnya. Dia menoleh, lekat matanya terasa asing buatku, lalu kilat si mpus melompat kelebat berlari dan menghilang didalam sunyi gelap.
"Puus..puus.." aku berteriak mengejarnya namun pupus kerna dia begitu sergah.
"Ada apa aden?" para pelayat bertanya memandangku herman.
"Itu.. kucing.. si Ndut.." kataku sergah
"Kuucing...dari tadi mah, enggak ada kucing, den?" mereka serempak berbarengan dan berpandangan satu dengan lainnya.
Tiba tiba seorang tetangga sebelah almarhum mendekati telingaku.
"Ealah.. den. Pantesan semalem jam duabelas, bapak ndenger meong meong aja dirumah almarhum.. seperti panggilan meong, kitu yak?" katanya antara bisa kudengark tapi juga yang lain bisa menyimak. Namun meski sedikit merindink disko, aku cuek beibeh saja, menanggapi hoak ini.
Akupun tak lama, pulang cepat keperaduanku. Berharap Gendut kucing nggemesi hadir  setia seperti berita pagi. Lalu akupun berlelap.
Tengah malam aku terbangun, kerna napas dari paru paruku terasa sesek, dan badanku lemas mengucurkan keringat dikamarku yang ber ac. Kukerling lesu jam dinding di jarum duabelas. Antara sadar dan tak sadar, telingaku mendengar suara mengajak akrab pus Gendut.
"Meoong.. meoong.. meoong...."