"Mufmufmuf.." dia menggigitnya mendua, antara takut dan radoyan,lalu menatapku. Mataku melotot, segera dia mengunyah habis, tanpa cingcong lagi.
Memang sudah delapan bulan ini kami berteman. Aku menyapanya si Gendut, karena potongan tubuh kucing itu gembul dan bentuknya bukan bulet tapi kotak. Bulunya kuning pucat homogen tanpa belang spot, tebal dan pepak. Awalnya sih entah, tiba tiba saja dia muncul saat aku bangun disuatu pagi. Mengingat aku enggak gampang kaget, dan bukan tipe yang mudah kagum, jadi aku enggak sampe langsung HL ke dia saat pertama bertaut, melainkan kuendapkan dulu si kucing singgah ini, meskipun dari kovernya sih oce. Namun kelamaan, dia konsisten datang diwaktu dan ruang yang sama, yaitu jam enam pagi dibawah jendela panjang kamarku.Â
Sebagai jomblo basi, aku kadang memiliki cukup waktu setelah bangun fajar, dan hadirnya pus gendut ini mulai menarik minatku. Akupun mulai memberi perhatian dari memberi makan sisa ikan sampai aku bela belain menservisnya dengan makanan kucing tablet. Dari mulai menyapanya dan menyambutnya dengan membelai dan menggosok gosok leher bunteknya. Aku seneng tenan dan dia meresponnya dengan membunyikan napasnya, gerek..gereek, sebagai tanda ike suka. Selayak kebiasaannya, pus gendut, hanya mampir setiap pagi sampai melepas pandangnya ke sepeda motorku melaju lepas pergi ke kantor, lalu dilanjut dikesokan pagi.Â
Semenjak itulah pertalian batin kami tak terasa memasuki bulan ke sembilan, sebagai pasangan Gendut dan Jomblo. Namun selama itupun, aku tak pernah memahami asal atau empunya kucing ini. Penasaran, sesekali aku menantikan kepergian arahnya, namun dia bergeming tak mau obah, sebelum aku tancap kerja. Begitupun pernah, kuintai sebelum pukul enam pagi, untuk tahu usul jejaknya, eh malah dia meong meong datang menjelang dari atas pohon kapuk dekat rumahku, ngeselin gak?. Dilain waktu, dia datang mlipir dari bubungan atap rumahku, sesekali nongol dari kelokan jalan masuk gang rumahku. Dah, sejak itu masa bodok, gendut datang dari mana, yang penting aku menikmati pertemanan dua beda genre ini.
Namun pagi ini di hari Kamis, aku tak mendengar cakar Ndut di kayu jendelaku. Tak seperti kebiasaan, bahwa pus Gendut tak pernah sekalipun absen bahkan telat menjemput pukul enam pagiku. Aku herman, kubuka lebar jendela, kiri kanan, ku geser kepalaku, mataku juga kekiri kekanan memeriksa semua ruang halaman depan, tak teramati tanda kehadiran Ndut.
"Ndut.. Genduuut...! Meoong.. mieoong.." aku memanggilnya pesimis histeris, melihat jam dinding mengejar detik ke kantor. Â Sekejap aku melayangkan motorku bergegas menyambut kerja, sambil berpikir positif besok pagi sang kawan pasti juga datang menjelang.
Sepanjang kerja kok aku terus kepikiran si Gendut, gak konsen dengan gawean ku, rasanya mau cepat balik menunggui pagi esok.
Pukul lima sore aku sudah menggerung masuk komplek rumah, namun dimuka tikungan masuk, dua potong bendera kertas kuning terikat di sisi gerbang.
"Sapa yang mahot, pak satpam?" aku bertanya ke sekuriti
"Eta, pak Suket, gang sebelah barat" katanya
Aku mengangguk, pura pura tau. Maklum aku memang kuper dan introvert, minim sosialisasi tetangga sekitar.