Tak ada jawaban dan memang tak pernah lagi. Perempuan sisihan itu terjadi seperti jawabanku terakhir. Tertutup mata dan terhenti denyut dan terus mendingin, sang pemilikpun kelihatannya sudah dijemput kerabat. Â Dinding ruang instensif semakin putih, pucat membeku. Waktunya perawat melepas semua selang sudah digariskan, seperti beberes di drama yang selesai.
Dan aku merunduk dalam. Dalam sekali. Melepas istriku ke terakhirnya awal mula.
Inilah kepergian ketiga yang begitu merusak menyeruak sampai diinti ragaku. Setelah kehilangan Wati, anak perempuan kami setahun lalu. Â Membikin kami berdua terhuyung setengah mati untuk kembali tegak. Setahun, setahun lalunya lagi, mamak ku tercinta berpulang, yang tak pelak meninggalkan pakem yang terpatri di hidupku. Itu kehilangan salah satu akar, yang mulai mengaburkan silsilah hidup.
"Pak.. pak.."
Sayup suara suster ditelinga lalu senyap. GubraK! Mungkin aku pingsan.
***
Hari sudah panas, tapi aku masih merasa beku. Aku menatap dingin hangat cahaya matahari yang sudah menyudut empat puluh lima derajat. Orang orang kegerahan, tapi aku menderedek dingin. Kurapatkan cardigan tebalku hingga keleher, namun tidak membantu.
Aku masih terduduk ranjang, menatap lewat kisi kisi jendela, orang orang senam, tersenyum dan tertawa, suara suara berbicara, ada bernyanyi, bersajak, ada menangis. Campur baur suara, mendenyut-denyutkan kedua pelipisku, memaksa lenganku memukul mukul kepalaku berulang kali.
Meski kemudian suara luar melenyap, suara didalam kepalaku timbul dan semakin keras. Kubuka kain syalku, dan kulilitkan dikepalaku sekeras tenagaku, guna mengenyahkan suara suara kepalaku yang menghina dan berhasil. Aku puas dan tersenyum.
"Masih tuh suara manggil manggil?" dokter tugas pagi mendekatiku.
Aku mengangguk, bengong.