Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara Kerabat

24 Februari 2019   22:23 Diperbarui: 24 Februari 2019   22:50 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 "Mas tau gimana rasanya mati?"

"Hush! Jangan bicara seperti itu!"

"Sakit enggak ya?"

"Kamu melantur, ah!"

"Aku jadi ingat Wati"

"Dik, kamu.."

"Tapi dia masih kecil waktu itu.."

"Hmmhh.."

"Aku mulai kerap memikirkannya mas.."

"Berdoa minta waras, dik.."

"Berdoa. Aku ndak memohon lagi mas. Sekarang  isi doaku hanya sekehendak terserah Gusti Allah"

"Hmmhh.."

"Tapi kamu belum jawab gimana rasanya kematian, to mas?"

"Aku.. aku belum pernah mati, dik"

"Iya.. tapi kamu kan tamatan filsafat?"

"Hmmhh.."

"Ayolah mas.."

"Maas.."

"Baiklah dik. Kematian itu sederhana, tidak menyakitkan. Pertama, kita bertemu dengan seorang kerabat lama. Kedua, kita merasakan pusing, kepala berputar. Ketiga, kita merasa dingin mulai dari ujung kaki merambat naik ke tubuh. Keempat, kita merasa sangat mengantuk dan mulai menurunkan kelopak mata. Yang terakhir, kita hanya perlu menghembuskan satu nafas dari sipemilik tanah.

Selesai.."

Lalu hening panjang.

"Dik.. dik.. dik Tutiek. Dik Tutiiiieek.."

Tak ada jawaban dan memang tak pernah lagi. Perempuan sisihan itu terjadi seperti jawabanku terakhir. Tertutup mata dan terhenti denyut dan terus mendingin, sang pemilikpun kelihatannya sudah dijemput kerabat.  Dinding ruang instensif semakin putih, pucat membeku. Waktunya perawat melepas semua selang sudah digariskan, seperti beberes di drama yang selesai.

Dan aku merunduk dalam. Dalam sekali. Melepas istriku ke terakhirnya awal mula.

Inilah kepergian ketiga yang begitu merusak menyeruak sampai diinti ragaku. Setelah kehilangan Wati, anak perempuan kami setahun lalu.  Membikin kami berdua terhuyung setengah mati untuk kembali tegak. Setahun, setahun lalunya lagi, mamak ku tercinta berpulang, yang tak pelak meninggalkan pakem yang terpatri di hidupku. Itu kehilangan salah satu akar, yang mulai mengaburkan silsilah hidup.

"Pak.. pak.."

Sayup suara suster ditelinga lalu senyap. GubraK! Mungkin aku pingsan.

***

Hari sudah panas, tapi aku masih merasa beku. Aku menatap dingin hangat cahaya matahari yang sudah menyudut empat puluh lima derajat. Orang orang kegerahan, tapi aku menderedek dingin. Kurapatkan cardigan tebalku hingga keleher, namun tidak membantu.

Aku masih terduduk ranjang, menatap lewat kisi kisi jendela, orang orang senam, tersenyum dan tertawa, suara suara berbicara, ada bernyanyi, bersajak, ada menangis. Campur baur suara, mendenyut-denyutkan kedua pelipisku, memaksa lenganku memukul mukul kepalaku berulang kali.

Meski kemudian suara luar melenyap, suara didalam kepalaku timbul dan semakin keras. Kubuka kain syalku, dan kulilitkan dikepalaku sekeras tenagaku, guna mengenyahkan suara suara kepalaku yang menghina dan berhasil. Aku puas dan tersenyum.

"Masih tuh suara manggil manggil?" dokter tugas pagi mendekatiku.

Aku mengangguk, bengong.

"Suara siapa?" dokter bertanya sambil mengisi cairan injeksi dijarinya.

"Suara kerabat"

Hari pun menjelang tengah malam, jalan lebar beraspal dimuka bangunan basah bekas rebahan hujan, sebuah bangunan cukup luas namun terkesan tua, berhuruf pudar namun terbaca. "Rumah Gangguan Jiwa"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun