Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pulang

10 Januari 2019   22:39 Diperbarui: 10 Januari 2019   22:40 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ira duduk bersunyi. Bertaut jarak dengan penikmat yang lain. Dia senantiasa duduk dibangku yang sama saban hatinya menariknya ke taman ini. Lalu seperti biasanya, burung burung merpati yang semula bersebar di luas huma akan menoleh dan bergeruk geruk menderap menghampirinya. Kepala mereka jungkat jungkit pertanda girang sambil mengembungkan bulu bulu dilehernya yang berkedut kedut.

Ira menyapukan matanya ke para sahabatnya , membuka kantung kertas ditangannya dan mencecerkan keratan roti ke latar hijau rumput dimana unggas unggas itu menyudunya lahap, berebutan dan berlompatan mengepakkan sayap sayapnya.

Mahluk mahluk bersayap itu selalu merubung setiap Ira merambah taman, mereka hinggap dimana saja asal dekat dengan kehangatan tubuhnya, seperti tau dialah ibu suri dari merpati yang tak pernah ingkar janji.  

Ira tersenyum memasrahkan beberapa merpati berhelai putih menyapukan sayap ke lengannya, dia menyukai dan kerap mengangeninya.

***

Berbeda nian didua dekade silam, ketika perdana Ira memasuki taman ini, hatinya disesaki kesumat pekat. Merah kebencian kepada mahluk berkepak ini menyembilu ditengkorak kepalanya, peseteru peseteru ini seakan ditantang keberaniannya untuk membelah benak didalam tempurung kepalanya.  Setiap hari, ya setiap hari, Ira menjemput penghuni awan di taman ini dengan pandangan mata sipit membunuh.

"Come on, akulah tandingmu. Lakukanlah padaku!" Ira berbisik geram.

Seketika bauran merpati merpati itu merasakan tiupan bara, mereka menjauh lalu merunduk ciut.

Begitulah keseharian, sejak kehadiran Ira, setiap mendekat, burung burung taman itu dirundung ketakutan, wajah berparuh yang menggemaskan terlihat garing dan bulunyapun merupa kusam layaknya cupet zat asam. Tak beranilah seekor merpati pun menjelangnya. Dan Ira memahami teror serebralnya kepada dara dara ini, semakin menikam, semakin pula merona ceruk agitasi pelunasan dendamnya. 

Inilah alasan tersublim di otaknya ketika mesti menerima kenyataan, menelan takdir kematian putri kecilnya, yang terhempas oleh derita tumor otak yang lethal. Princess mungil semata wayang, yang diukuran fananya  terlalu dini menjemput langit, mesti mengarungi hitam yang begitu cepat, dengan tumbuhnya jaringan kurang ajar yang seenaknya melahap akal budi di mahkota sang princess. Ira pun menangis hujan  ketika lengan lengan kekar dokter bedah penyintas tempurung ,mengatupkan kedua telapaknya tanda usai perjuangan.

Kalbu anti ikhlasnya terus bertarung panjang dikesudahannya, Ira tak surut, dia masih terus memburu penyulut tumor perenggut sukma dalam kerangka mentunaikan dendamnya.   Hingga tibalah ditepi pemahaman, bahwa biang kerok muasal tumor adalah virus yang dicangking oleh kotoran kotoran merpati.

Sejak itu Ira terobsesi dengan merpati, yang berwujud mendua, antara pemuasan dendam dan suicide, menantang merpati menyemburkan virus keotaknya seperti yang  selama ini diyakini. Dan Ira akan melawannya habis habisan  merubuhkan dalil di kematian anaknya dahulu.

***

Mentari menurun, warna amber, merah marun sinarnya, bergaris garis menepis wajah.  Ira masih terduduk. Hampir genap dua puluh satu tahun Ira masih setia menyambangi taman. Waktu yang berjarak  larut telah membuatnya mendamaikan dirinya, pula berdamai dengan burung burung merpati yang  sudah keberapa kali beralih generasi. Sementara burung burung tetaplah merpati, bergeruk geruk, berputar putar dengan temboloknya berkembang kempis. Wara wiri  merpati di seputar tungkai dan kedua sikunya yang  rupanya tidak sigap lagi.

 Ira sekonyong merasa, raganya lemah dan letih.

Dia merasakan dingin lalu mengenakan baju hangatnya.

"Sudah waktunya pulang" Ira menggumam, sementara merpati merpati serentak mengangguk angguk memberi isyarat bahwa sudah tak tersisa lagi pengunjung  taman lain.

 Sesaat Ira beranjak, seorang gadis semampai tiba tiba hadir dengan langkah seringan kapas, menyita ruang bangku kayu, tepat disisi dia berdiri. Gadis itu mengibaskan tangannya kegerahan, layaknya sehabis menempuh jarak.

"Ibu mau pulang?" tanyanya renyah, matanya berbinar, senyumnya mengembang memikat.

" Ya, ibu mau pulang, nak" Ira mengangguk sembari mengerling. Cantik, pikirnya.

Tanpa aba aba mereka saling mengalirkan pandangan, begitu dekat, rasanya seperti pernah mengenal di silam. Ira terdelusi deja vu.

Seandainya saja princess kecilnya masih hidup, pasti sekarang tumbuh serupa dengan gadis elok dihadapannya. 

Ira merasakan bola matanya menghangat,  impulsif menengadahkan  wajahnya menatap langit, memungkiri tumpahan air matanya.

Gadis itu mendekat, merangkulnya dan berbisik. "Pulang yuk, ma"  lalu membimbingnya pulang.

***

Ditepi fajar yang berkabut, terlihat sebuah ambulance terparkir dilintas trotoar taman. Beberapa perawat mengusung brankar dengan langkah  lambat seirama.

Burung burung merpati belum lagi tampak.

Namun mereka sudah mengetahuinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun