Ira duduk bersunyi. Bertaut jarak dengan penikmat yang lain. Dia senantiasa duduk dibangku yang sama saban hatinya menariknya ke taman ini. Lalu seperti biasanya, burung burung merpati yang semula bersebar di luas huma akan menoleh dan bergeruk geruk menderap menghampirinya. Kepala mereka jungkat jungkit pertanda girang sambil mengembungkan bulu bulu dilehernya yang berkedut kedut.
Ira menyapukan matanya ke para sahabatnya , membuka kantung kertas ditangannya dan mencecerkan keratan roti ke latar hijau rumput dimana unggas unggas itu menyudunya lahap, berebutan dan berlompatan mengepakkan sayap sayapnya.
Mahluk mahluk bersayap itu selalu merubung setiap Ira merambah taman, mereka hinggap dimana saja asal dekat dengan kehangatan tubuhnya, seperti tau dialah ibu suri dari merpati yang tak pernah ingkar janji. Â
Ira tersenyum memasrahkan beberapa merpati berhelai putih menyapukan sayap ke lengannya, dia menyukai dan kerap mengangeninya.
***
Berbeda nian didua dekade silam, ketika perdana Ira memasuki taman ini, hatinya disesaki kesumat pekat. Merah kebencian kepada mahluk berkepak ini menyembilu ditengkorak kepalanya, peseteru peseteru ini seakan ditantang keberaniannya untuk membelah benak didalam tempurung kepalanya. Â Setiap hari, ya setiap hari, Ira menjemput penghuni awan di taman ini dengan pandangan mata sipit membunuh.
"Come on, akulah tandingmu. Lakukanlah padaku!" Ira berbisik geram.
Seketika bauran merpati merpati itu merasakan tiupan bara, mereka menjauh lalu merunduk ciut.
Begitulah keseharian, sejak kehadiran Ira, setiap mendekat, burung burung taman itu dirundung ketakutan, wajah berparuh yang menggemaskan terlihat garing dan bulunyapun merupa kusam layaknya cupet zat asam. Tak beranilah seekor merpati pun menjelangnya. Dan Ira memahami teror serebralnya kepada dara dara ini, semakin menikam, semakin pula merona ceruk agitasi pelunasan dendamnya.Â
Inilah alasan tersublim di otaknya ketika mesti menerima kenyataan, menelan takdir kematian putri kecilnya, yang terhempas oleh derita tumor otak yang lethal. Princess mungil semata wayang, yang diukuran fananya  terlalu dini menjemput langit, mesti mengarungi hitam yang begitu cepat, dengan tumbuhnya jaringan kurang ajar yang seenaknya melahap akal budi di mahkota sang princess. Ira pun menangis hujan  ketika lengan lengan kekar dokter bedah penyintas tempurung ,mengatupkan kedua telapaknya tanda usai perjuangan.
Kalbu anti ikhlasnya terus bertarung panjang dikesudahannya, Ira tak surut, dia masih terus memburu penyulut tumor perenggut sukma dalam kerangka mentunaikan dendamnya. Â Hingga tibalah ditepi pemahaman, bahwa biang kerok muasal tumor adalah virus yang dicangking oleh kotoran kotoran merpati.