Riko berjalan gontai menuju apartemennya. Â Dia ingin segera sampai, namun langkah terasa berat, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama tak seperti biasanya.
Tiba di apartemen, Riko membanting tubuhnya disofa dan mendengkur. Jam dinding menunjuk pukul dua dini. Selanjutnya senyap tertelan pagi.
Riko terbangun saat gajetnya berdering, tubuhnya lemah. Dia menggapai gawai dan berbicara malas.
"Helo?" Â terdengar suara jawaban disebrang yang kurang jelas.
"Sorry bro, aku lagi kurang sehat", Riko menyahut singkat dan memutus kontak.
Mencoba bangkit dari sofa, tubuhnya terasa ringan lalu berjalan sempoyongan ke peturasan. Kepalanya berdenyut  disisi kanan, Riko tak tahan, dia meminum obat antipus, anti pusing.
Sedikit reda, wajarnya manusia, Riko mandi dilanjut sarapan kemudian cekidot.
Pagi ini dia menjadi dosen tamu di universitas negri top markotop, mahasiswa tak sabar menanti. Â Riko memang mashyur di segala kampus sebagai dosen jenius. Meski hanya S1, pola pikirnya selevel S3. Dia kurang suka dengan gelar, karena HP saja sekarang sudah S9, katanya. Â Dia juga seorang pengamat politik yang diakui canggih. Ulasan dan frasanya selalu dirindukan oleh masyarakat. Beberapa media mainstream seperti mendewakannya dan mematok enggak ada loe enggak enjoss.
Tapi sayang mereka harus kecewa, Riko tampak absen untuk aktivitas hari ini. Setelah satu minggu dengan jadual super padat, Riko drop. Badan remek, mata berkunang kunang  disertai sakit kepala  dahsyat. Tiba dikampus, Riko memberitahukan perihal kondisinya sehingga tak bisa menguliahi mahasiswa.
Riko terhuyung kembali ke apartemen, jalannya tidak bisa lempeng selalu mencong kekiri. Riko gelisah dan berniat tidur seharian untuk recovery.Â
Sehari semalam Riko terkapar, pagi ini bangun dengan kondisi tubuh woke. Dia tersenyum menyambut fajar. Gosok gigi dan sarapan disiapkan sendiri. Oh iya, Riko masih jomblo, meski sudah sedikit karat tapi masih maknyus.
Rikopun melanjutkan paginya, bersiap  mengajar , pencerahan atau debat politik. Semua agenda sudah tersimpan di laptop yang mulai di start. Lama jeda, tak biasanya, Riko mengalami blank mencari folder file dan arsipnya. Meskipun bisa didapat itupun dengan trial and error. Diapun mencari cari kunci apartemen padahal menggantung di pintunya. Sama halnya dengan buku buku dia lupa tempatnya, padahal biasanya dia  tau buku yang dicarinya meski berantakan. Saat gosok gigi tadi, Riko baru menyadari jika gerakan tangan kanan saat mengosok gigi bergerak random, kiri kanan atas bawah tidak sinkron sehingga gigi malah tidak bersih.
Riko curiga ada yang salah dengan kemampuan intuitifnya namun ditepisnya. Kecapekan, pikirnya simple.
Aktiivitas menguliahi hari ini berjalan biasa sampai selesai. Riko meninggalkan ruang kuliah.
"Pak pintunya sebelah sini!" suara mahasiswa mengejutkannya.
"Ah.. sori" Riko memutar badannya.
"Pak tasnya ketinggalan!" serempak suara mahasiswa.
"Ouw..ya ya.." Riko menengok ke meja podium dan berbalik.
Mahasiswa saling berbisik atas hal tak biasa dari sang dosen, sementara Riko berlalu melanjutkan agenda hariannya dengan keraguan.
Hari berikut keadaan memburuk, selain lupa lokasi, Â kordinasi anggota tubuh Riko menjadi mislead. Selain jalannya miring , ritme ayunan tangan dan kakinya juga abnormal.
"Ada sesuatu terjadi di pikiran ku". Riko mereview kebelakang, namun tak tersingkap jawaban. Â
Hari hari selanjutnya kondisi lebih jelek, kemampuan menulis dan verbal terkadang dead lock, logika dan rasio terasa tidak runut. Â Kepala kampus memberi notice kepadanya sehubungan laporan ketua kelas yang memprihatinkan. Termasuk acara on air di televisi atau mimbar bebas tak bisa menyerap lagi IQ tinggi Riko.
Akhirnya Riko turn back. Cooling down.Dia takut menjadi dungu. Riko menunggu.
Tiga hari tiga malam hanya mendekam di apartemennya, Riko bersemedi, tidak makan dan minum Riko meretreat dan introspeksi batin.
Malam hari keempat Riko merasa amat lapar, jam dinding menunjuk sebelas, dan dia menuju restoran padang di seberang yang  kebetulan masih buka.
"Pintunya sini bang.." uda tertawa menyambut Riko yang keliru dijendela.
" Sudah larut, lauk tinggal otak saja bang. Mau?" uda menjelaskan. Â Riko mengangguk, sesegera nasi otak tersaji, Riko melahapnya habis namun masih merasa lapar.
"Bisa tambah otak lagi, da.." Â Riko memohon. Uda menuangkan gulai otak terakhir.
Riko pulang dan tidur.Â
Keesokan pagi Riko normal kembali.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H