Mohon tunggu...
Bandu Jatra
Bandu Jatra Mohon Tunggu... Ilmuwan - Saya seorang PhD student yang nulis klo lagi suntuk ngerjain disertasi.

PhD student, Kasep, terapis........suka baca, anime toku ma movie

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kurangi Menulis, Perbanyak Mendengar

18 September 2019   12:32 Diperbarui: 18 September 2019   12:40 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awalnya, memang aneh bagi seorang Indonesian seperti saya, tapi believe me, metode seperti ini adalah standar umum di negara maju untuk keperawatan jiwa. Terus dokumentasinya gimana? Akan dibahas di curhatan selanjutnya.

Terus kerugiannya ada ga? Kalau dari pandangan saya ga ada. Cobalah buat penelitian, satu kelompok mahasiswa pake metode lama, yang satu pake metode seperti di atas. Mana yang lebih capek bagi mahasiswa/perawat? Mana yang lebih banyak nulis? Mana yang lebih puas pasiennya? Dan lebih lanjut lagi diagnosa keperwatan itu sebetulnya ga ngaruh juga buat klaim pembayaran. 

Tanya aja ma orang BPJS. Kenapa kita ga seperti psikolog aja yang pake diagnosa medis untuk mentreatment pasien. Mungkin ada yang beranggapan beda dong, klo diagnosa keperawatan itu kan respon klien terhadap penyakitnya. Iya, tapi klo jadi sulit dan banyak nulis dan esensinya hilang, kenapa tidak dimodifikasi, toh cuman Indonesia yang punya konsep kayak gini.

Terus bagaimana memulainya?

Sebagai orang yang pernah mendapat masalah yang sangat berat, merasa bahwa semua orang di dunia ini memusuhi saya, dan menganggap diri sebagai seorang yang gagal dan bahkan pernah ngerasain "panic attack dan social phobia", saya menyadari bahwa dukungan yang tulus tanpa judgment itu yang paling dibutuhkan. Jangan bilang karena kita seorang perawat jiwa atau praktisi kesehatan jiwa harus bebas dari "traumatic life event". Apalagi klien dengan psikosis, yang mungkin mempunyai beban sekian kali lipat dari yang kita rasakan.

Untuk dunia pendidikan mungkin kita bisa menambah porsi diskusi mahasiswa tentang pengalaman pasien, apa yang terjadi dalam diri pasien, stigma yang pasien alami, harapannya untuk sembuh. Memperkenalkan hal yang "dalam" yang mungkin hanya ada di keperawatan jiwa (sama paliatif mungkin). 

Hal itu dilaksanakan pada saat sedang responsi dengan pembimbing, bukan berfokus pada berapa kali diajarin menghardik, kenapa pasiennya ga bisa-bisa aja dsb. Tolong tinggalkan hal-hal yang too technical dan masuklah ke mode curhat, alam yang selama ini hanya dirasakan kalau hanya ada masalah di dalam keluarga dan teman dekat saja. Seperti kata pepatah "Klien dengan gangguan jiwa itu juga manusia" (Gitulah terjemahan bebasnya).

Untuk perawat, kalau lagi dokumentasi berhenti nulis banyak, capek. Kalau lagi ketemu pasien dan keluarga berhenti menggurui, itu juga capek. Mending kita dengerin dan kasih informasi saja.

Terima Kasih

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun