Clayton, 18 September 2019
Ada dua hal yang saya tangkap ketika melihat bagaimana pembimbing saya mengajari para mahasiswa S1 bagaimana cara melakukan asuhan keperawatan jiwa. Dua hal itu adalah pake diagnosa medis dan wellness toolbox/recovery.Â
Tentu saja hal itu membuat saya kaget, karena sangat berbeda sekali dengan apa yang saya pelajari di Indonesia. Untuk yang nomer satu saya tanya, kenapa ga pake diagnosa keperawatan. Dengan simple nya dia menjawab, (maaf sebelumnya klo bahasanya agak kasar) "Nursing diagnosis is crap, it just not working for mental health".
Unbelievable, apakah dengan bicara seperti itu dia menjadi tidak cinta keperawatan, tentu tidak. Beliau sudah menjadi perawat bahkan sebelum saya lahir, WHATT?? Sudah menjadi PhD sebelum doktor perawat pertama ada di Indonesia, penulis buku ajar keperawatan level dunia dan CEO dari sebuah perusahaan yang khusus nanganin permasalahan bagi para migran dan orang dengan mental ilness serta punya jabatan tinggi di IPKJI nya Australia. Kurang apalagi.Â
Akan tetapi seolah terdoktrin, saya jadi termenung. Iya ya, emang ga jalan klo lapangan. Esensi recovery pasien ga keluar. Tapi beda ceritanya kalau hal tersebut diajukan untuk memudahkan (menyamakan) konsep belajar ilmu keperawatan jiwa. Tapi layaknya konsep KPK yang superpower, yang sedang digoyang oleh revisi UU nya, boleh dong konsep belajar keperawatan jiwa mahasiswa S1 di Indonesia dikaji ulang.
Terus apa yang dilakukan, ternyata jawabannya ada di nomer 2. Wellness toolbox and recovery. Wellness toolbox itu kayak formatnya, yang digunakan oleh pasien untuk merencanakan hidupnya selama proses dan setelah proses recovery. Tapi intinya sih di recovery.Â
Bicara tentang recovery, seorang Prof dari UK, Mike Slade (2009) membaginya jadi 2, clinical dan personal. Clinical lebih ke penurunan tanda dan gejala, personal ya perjalanan pasien, apa yang diinginkan pasien supaya bisa sembuh. Mahasiwa dan perawat nantinya belajar berkembang sesuai dengan platform clinical dan personal recovery tersebut.
Untuk clinical recovery, yang dilakukan mahasiswa dan perawat adalah belajar tentang penyakit, tanda dan gejala serta cure system yang ditujukan untuk penurunan tanda dan gejala sang pasien. Ya kalau saya membayangkan seperti yang dilakukan pada umumnya di keperawatan "Non Jiwa" ketika responsi. Mahasiswa dan perawat mengetahui penyakit, tanda dan gejala serta patofis obat.
Nah yang jadi inti ini justru di personal recovery. Hal tersebut yang menjadi pembeda antara keperawatan jiwa dengan yang lain. Kita bersama pasien diskusi tentang masalah yang sederhana, tapi dalam dan menyakitkan bagi orang yang mempunyai masalah. Kita bicara dengan pasien tentang apa yang buat dia sedih, pada saat apa suara keluar, ya mirip-mirip lah dengan apa yang kita lakukan selama ini di awal kita ketemu pasien.Â
Yang membedakan adalah pas sudah pengkajian. Ga usah ada diagnosa keperawatan baru, pake aja diagnose medis. Ga usah ada perencanaan, pake aja Toolbox, pas intervensi cukup curhat 15-30 menit dan banyakin denger. Ga usah keluarin pendapat kita kalau ga ditanya, belajar empati, dengerin apa kata pasien, ngurangin kerjaan, esensi dapet.Â
Soal standar kelilmuan kuasai Bab tentang Hubungan terapeutik dan Komunikasi terapeutik. Ga usah pake terapi yang berat model CBT atau logoterapi (Itu sudah bagian psikolog ma perawat spesialis jiwa). Sedap.