Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Duafa Salatiga Ini Tidur di Kandang Ayam

7 September 2022   16:57 Diperbarui: 7 September 2022   17:16 1196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepanjang waktu dalam kesendirian (Foto: Bamset)

Supaat (65) duda duafa yg merupakan warga Kota Salatiga, bertahun- tahun hidupnya sangat mengenaskan. Tinggal di Dusun Kerep RT 1 RW 2, Desa Jombor,Kecamatan Tuntang, Kabupaten  Semarang , ia tiap malam tidur di depan kandang ayam miliknya. Seperti apa deritanya, berikut catatannya untuk Indonesia.

Keberadaan tentang nestapa Supaat , awalnya saya dapatkan dari salah satu warga Desa Jombor yang mengabarkan kondisinya. Terkait hal tersebut, saya diminta menemui Makawi (50) seorang perangkat desa setempat. Pasalnya, yang bersangkutan mengetahui lahan yang ditempati Supaat. Tanpa menunggu lebih lama, saya pun segera meresponnya.

Tak sulit menemukan rumah Sarkawi, hingga akhirnya, bersama salah satu warga lainnya, saya diantar menuju kebun yang dijadikan tempat tinggal Supaat. Melewati jalan sempit, begitu tiba di kandang ayam milik Supaat, ada rasa sesak di dada. Sebab, kandang itu hanya bangunan seadanya, berukuran sekitar 2 X 2 meter, beratapkan seng bekas. Tidak ada aliran listrik, begitu pun sumber air. Satu- satunya fasilitas MCK berada di bawah lahan berupa aliran sungai kecil dengan suara gemerciknya air sangat jelas terdengar.

Sangat minimalis pol, hanya terlihat beberapa pakaian kumal tergantung, ada kasur lecek dan selembar tikar plastik. Yang lebih mengenaskan, ternyata gubuk tersebut bukan untuk tidur Supaat. Ia mengalah terhadap puluhan ayam piaraannya, dirinya saban malam beristirahat di depan kandang. " Saya tidur di sini," kata Supaat sembari menunjuk lahan kosong yang ada di depannya.

Supaat memperagakan saat tidur di ruang terbuka (Foto: Bamset)
Supaat memperagakan saat tidur di ruang terbuka (Foto: Bamset)

Karena penasaran, Supaat saya suruh memperagakan caranya tidur. Ternyata, ada lima lembar papan bekas yang ditaruhnya di atas tanah.  Setelah itu, digelarnya tikar plastik (sejenis karpet) berukuran 1,5 X 2 meter. Tanpa bantal mau pun guling, untuk mensiasati udara malam ia menggunakan tikar yang sama." Kalau terasa dingin, tikar saya gulung menutupi tubuh saya," jelasnya.

Duh, susah membayangkan kondisi saat Supaat tidur. Sebab, selain di alam terbuka yang rawan binatang berbisa, juga bila sewaktu- waktu hujan tiba terus apa yang bakal diperbuatnya. Ternyata, dengan enteng, ia mengaku menggunakan cara yang sama, yakni menggulung tikar membalut tubuhnya.

Udut dulu mbah, ntar semua masalah akan kelar (Foto: Bamset)
Udut dulu mbah, ntar semua masalah akan kelar (Foto: Bamset)
Tidak Ada Bantuan Negara

Menurut Supaat, dirinya sebenarnya merupakan warga asli Desa Jombor, namun, beberapa puluh tahun silam, saat menikahi perempuan bernama Sunarti, ia pindah ke Kota Salatiga dan mengantongi KTP keluaran 22 Mei 2008 yang dikeluarkan Camat Argomulyo Dra Siti Nur Solikhah. Tertulis alamatnya Jurang Gunting RT 03 RW 05, Kelurahan Ledok, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga.

" KTP saya sudah habis masa berlakunya tahun 2013 dan saya belum sempat memperpanjangnya," tutur Supaat seraya memperlihatkan KTP miliknya yang sekilas belum e KTP.

KTP Supaat yang sudah tak berlaku sejak tahun 2013 (Foto: Bamset)
KTP Supaat yang sudah tak berlaku sejak tahun 2013 (Foto: Bamset)

Lebih jauh Supaat menjelaskan, saat tinggal di Kota Salatiga , ia bersama dua anak dan istrinya , bekerja sebagai buruh bangunan. Sayang, teman sekerjanya mengincar sang istri yang mungkin ketika itu masih terlihat sexy. " Tahu- tahu mereka menghilang bersama dengan membawa dua anak saya. Kabar terakhir mereka hidup di Jakarta," tukasnya.

Setelah ditinggal istri dan anaknya,  Supaat kembali ke desa Jombor. Sempat menumpang di rumah kerabatnya, akhirnya ia memilih tinggal di lahan milik adiknya yang merantau ke Sumatera. Untuk makan keseharian, bila memiliki uang dirinya menanak nasi di tungku kayu buatannya. Tapi, semisal tidak memegang uang, dia makan di rumah saudaranya.

Akibat statusnya yang tak jelas itu, Supaat tidak mengenal namanya Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH) mau pun berbagai bantuan lainnya dari negara. Sebab, beragam dana sosial tersebut membutuhkan syarat administrasi yang lumayan ribet. " Saya belum ada kepastian akan kembali lagi ke Salatiga atau menetap di sini," ungkapnya seraya menambahkan di bulan puasa lalu, 30 ekor ayamnya digasak pencuri.

Sepanjang waktu dalam kesendirian (Foto: Bamset)
Sepanjang waktu dalam kesendirian (Foto: Bamset)

Klarifikasi Pemdes Jombor

Paska menyaksikan nestapa Supaat, saya segera memberitahukan kepada Relawan Lintas Komunitas (Relintas) Kota Salatiga. Di mana, komunitas sosial tersebut sudah berjalan selama tahun ke lima aktif mengurusi para duafa. Berdasarkan kesepakatan pengurus, Supaat akan dijadikan orang tua asuh yang tiap bulan bakal mendapatkan bantuan sembako.

" Melihat kondisinya yang sangat menyedihkan, kami tengah mempertimbangkan untuk membuatkan rumah sederhana yang layak huni. Sebab, tak mungkin beliau tinggal di lahan terbuka secara permanen ," kata Handoko, Koordinator Tim Bedah Rumah (TBR) Relintas.

Supaat menerima paket sembako dari relawan (Foto: Bamset)
Supaat menerima paket sembako dari relawan (Foto: Bamset)

Masih terkait dengan Supaat, saya sempat mempostingnya di salah satu grup Facebook dengan mencantumkan tempat tinggalnya. Tujuannya, semisal ada donatur yang tergerak hatinya, bisa langsung ke lokasi. Rupanya, postingan saya menimbulkan kegerahan di kalangan Pemerintah Desa (Pemdes) Jombor. Melalui Makawi, saya diundang ke Balai Desa setempat guna mendapatkan klarifikasi.

Tanpa mengajak relawan, saya pun memenuhi undangan tersebut. Ternyata, pihak Pemdes tengah menggelar rapat dipimpin oleh Kades Jombor Sudarso. Menunggu sekitar 5 menit, saya disuruh masuk ruangan yang didalamnya terdapat sekitar 10 orang. Di sini, Kades menjelaskan tentang keberadaan Supaat serta menyanggah yang bersangkutan tidak tercatat sebagai warga Jombor.

Akibat dicantumkannya tempat tinggal Supaat, kata Sudarso, pihaknya mendapatkan telepon Pemerintah Kabupaten Semarang yang menanyakan kebenaran berita yang saya posting. Begitu pun Sekretaris Desa (Sekdes) Jombor, Nur Kholis, ia meminta agar relawan dari Relintas mengevaluasi verifikasi calon sasarannya untuk selalu koordinasi dengan pihaknya.

Setelah semua unek- unek tersampaikan yang intinya merupakan klarifikasi, saya pun menjelaskan agak detail tentang Relintas. Dan mengapa setiap sasaran komunitas sosial tersebut selalu saya cantumkan tempat tingalnya. Hampir 1 jam pertemuan digelar, akhirnya tercapai titik temu perihal miskomunikasi yang belakangan muncul. 

Terlepas dari adanya miskomunikasi dengan Pemdes Jombor, Sudarso menjelaskan bahwa pihaknya nantinya bakal memberikan bantuan bila pihak Relintas akan membuatkan rumah bagi Supaat. Yang jadi masalah, Supaat sekarang ini perlu menyelesaikan administrasi kependudukannya dulu agar ia mendapatkan hak- haknya selaku warga negara. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun