Penyelewengan hasil kerja keras berpuluh tahun tersebut, ungkap Yantiyem, berujung pada perceraian. Setelah ia pulang ke kampungnya, sisa tabungan dimanfaatkan untuk memperbaiki rumah. Sembari mengasuh Yuni, setiap hari Yantiyem membuat keranjang ikan asin berbahan bambu dengan upah Rp 7.000 untuk 100 keranjangnya.
Belajar Baca Tulis Otodidak
Dengan penghasilan yang sangat minim, Yantiyem tak mungkin mampu menyekolahkan Yuni ke sekolah luar biasa. Apalagi, tempat tinggalnya lumayan jauh menuju Kota Salatiga.Â
Untungnya, Yuni merupakan anak cerdas. Kendati fisiknya tidak tumbuh normal, namun, otaknya encer. Ketika teman-teman sebayanya belajar, ia ikut nimbrung.
Kadang, dengan didampingi seorang pamannya, Yuni belajar mengenal huruf dan merangkainya. Sampai akhirnya, gadis malang itu mampu baca tulis, bahkan bisa juga berhitung.
Sangat sulit membayangkan semisal Yuni tak piawai membaca mau pun menulis, apa lagi di era teknologi informasi yang pesat seperti sekarang.
"Satu-satunya hiburan Yuni ya hanya handphone jadul, dia setiap saat, sembari berbaring menyimak facebook atau berita-berita di dunia maya. Kalau handphonenya rusak, ya alamat seharian hanya tiduran," kata Yantiyem.
Memang, ketika Bambang Setyawan menjenguk Yuni di kamarnya, gadis itu tengah tiduran dalam posisi miring ke kiri seraya memegang handphone.Â
Suaranya lirih, sementara dua kakinya mengecil. Untuk berbalik, ia harus dibantu ibunya. Begitu pun buang air kecil mau pun besar, tanpa bantuan orang lain, dia tak mampu melakukannya.