Minggu (17/1) pagi, sekitar 60 personil Relawan Lintas Komunitas (Relintas) Kota Salatiga telah membuatkan rumah layak huni untuk pasangan suami istri (Pasutri) tuna netra, yakni Slamet Riyanto (47) dan Munjiati (27) warga Dusun Senggrong RT 9 RW 4, Desa Terban, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang. Seperti apa perjuangan para relawan dalam mewujutkannya ? Berikut catatannya.
Pasutri Slamet Riyanto  dan Munjiati yang saban hari mencari nafkah dengan menjajakan sapu, selama ini telah menjadi sasaran Relintas. Di mana, selain tak mendapatkan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), mereka juga masih tinggal jadi satu di rumah mertuanya. Kendati mempunyai sepetak tanah pemberian orang tua, namun, tak bakal memperoleh bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), penyebabnya lahan belum mengantongi sertifikat.
Keinginan memiliki rumah sendiri, sebenarnya sudah sejak lama diimpikan pasangan duafa tersebut. Sayang, beban ekonomi yang berat, ditambah penghasilan saban harinya relatif minim, maka, impian itu hanya sebatas angan. Hingga akhirnya, Bambang Setyawan (Bamset) selaku penanggungjawab Relintas mendengarnya, maka, setelah melalui survei bersama Tim Bedah Rumah (TBR), diputuskan mereka bakal dibuatkan sebuah rumah layak huni.
Menurut Bamset, bukan hal mudah membuat rumah layak huni dalam tempo sehari. Untuk itu, TBR Relintas, sepekan sebelumnya telah memulai pekerjaannya seperti menyiapkan fondasi, material kayu hingga pembuatan kuda- kuda baja ringan. Agar semuanya berlangsung lancar, pekerjaan- pekerjaan tersebut, dikerjakan malam hari (lembur) mengingat siang hari personilnya mencari nafkah.
Tidak Open Donasi
Sekitar pk 19.00, kebetulan Dusun Senggrong usai diguyur hujan , rombongan mobil pengakut material tiba di lokasi. Sedikitnya 30 relawan segera membongkar muatan melalui jembatan kecil berbahan bambu. Bamset yang juga terlihat di lokasi, langsung memimpin pembongkaran. " Rasanya tak elok bila relawan berkeringat di malam hari trus saya tidak ikut hadir," ungkap Bamset.
Hanya memakan waktu sekitar 30 menit, TBR serta para relawan sudah mulai memasang tiang berikut kuda- kudanya yang menggunakan material baja ringan. Hampir 3 jam para relawan bekerja keras, dengan dukungan lampu penerangan, akhirnya pk 23.00 konstruksi kayu dinyatakan selesai. Untuk itu, finishing akan dilakukan hari Minggu pagi sampai selesai.
Seperti yang sudah- sudah, tiba di lokasi para relawan langsung melakukan tugasnya masing- masing. Puluhan relawan perempuan segera mengambil kuas dan mengecat kalsiboard bahan untuk dinding. Total ada 26 lembar kalsiboard dituntaskan pengecatannya dalam tempo 3 jam (maklum ibu- ibu).
Sekitar pk 17.00 seluruh pekerjaan akhirnya tuntas juga, sebuah rumah sederhana layak huni untuk Pasutri Slamet dan Munjiati berhasil diwujutkan. Sebelum kegiatan ditutup, Bamset juga menyerahkan donasi berupa dipan kayu, kasur, bantal serta 2 buah loker plastik donasi Opix Van Persie. " Berbagai barang donasi ini untuk kepentingan membuka praktek pijat mas Slamet," kata Bamset.
Bamset sendiri mengaku haru sekaligus berbahagia atas kerja keras relawannya, sebab, selain harus berhari- hari lembur , mereka juga bekerja sembari berpacu dengan waktu. Bahkan, salah satu relawan bernama Yehuda (40) yang merupakan warga Kota Semarang, memaksa diri berangkat pagi agar bisa bergabung dengan rekan- rekannya. " Saya cuma ingin ikut berbagi saja," jelas Yehuda yang berasal dari NTT.
Itulah sedikit catatan tentang kegiatan pembuatan rumah layak huni untuk Pasutri tuna netra yang berstatus sebagai duafa, kendati berpacu dengan cuaca yang tak ramah, namun, sesuai jadual, pk 17.00 dinyatakan tuntas. Slamet yang sementara ini belum mendapatkan PKH mau pun program RTLH, akhirnya mampu memiliki rumah sendiri. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H