Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kami Memang Buta, tapi Pantang Mengemis

22 Desember 2020   14:41 Diperbarui: 22 Desember 2020   21:26 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasutri keren di mata para relawan Kota Salatiga (foto: dok pri)

Akan Dibuatkan Rumah

Diakui oleh Slamet, resiko berdagang barang kebutuhan rumah tangga yang relatif awet, maka tak setiap orang membutuhkannya. Terkait hal itu, ia sudah berencana membuka praktek pijat, karena selain pernah mendapatkan pelatihan di Kabupaten Temanggung, dirinya juga sempat bekerja sebagai tukang pijat di Kota Semarang.

Menjawab pertanyaan Bamset, Slamet menjelaskan, selama hampir 3 tahun keliling menjajakan sapu, ia berulangkali mengalami pengalaman tidak menyenangkan seperti menjadi korban tabrak lari mau pun nyasar di selokan. " Jumlahnya tidak terhitung, yang namanya gulung- gulung di parit atau selokan sudah berulangkali," tuturnya.

Tim bedah rumah Relintas tengah mengukur lahan (foto : dok pri)
Tim bedah rumah Relintas tengah mengukur lahan (foto : dok pri)
Slamet mengakui, sejak lama memiliki impian tinggal di rumah yang terpisah dengan mertuanya. Seperti apa pun bentuknya, bila menempati kediaman milik sendiri mungkin akan bahagia. " Mungkin lho ya, kan kami belum pernah merasakan punya rumah sendiri," kata Slamet sembari tertawa.

Misal kelak memiliki rumah sendiri, lanjut Slamet, dirinya ingin membuka praktek pijat. Terkait hal itu, ia akan membuat ruangan khusus pijat. Jadi, ketika musim penghujan tiba, tak perlu lagi menjajakan dagangan keluar masuk perkampungan. Begitu pun saat tubuh merasa penat dan malas keliling, bisa menerima pasien.

Demi mendengar impian Slamet tersebut, Bamset bersama relawan lainnya sepakat akan merealisasikannya.  Rencana bulan Januari mendatang, Relintas bakal membuatkan rumah berukuran 4 X 6 meter, ditambah teras dan dapur. " Intinya, rumah yang kami buatkan tidak mewah namun layak huni," jelas Bamset.

Lahan calon rumah tengah diratakan warga (foto: dok pri)
Lahan calon rumah tengah diratakan warga (foto: dok pri)
Kenapa Bamset langsung merespon keinginan Slamet ? Sebab, berdasarkan penelusurannya, Slamet yang tak pernah mendapatkan Program Keluarga Harapan (PKH) ini, juga sulit menerima bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dari negara. Pasalnya, lahan yang dimilikinya selain belum berdiri bangunan, ternyata statusnya masih atas nama mertuanya.

Mendapatkan penjelasan dari Bamset, secara spontan Slamet dan itrinya mengaku sangat bahagia. Gestur kebahagiaan sulit mereka sembunyikan, bagaimana tidak, ketika negara ogah hadir, mendadak para relawan datang serta bakal mewujutkan impiannya tanpa birokrasi yang berbelit.

Menurut Bamset, kendati tim bedah rumah di Relintas sudah siap mengeksekusi rumah layak huni untuk pasutri tuna netra ini, namun, pihaknya tetap meminta dukungan warga setempat. Tanpa bantuan warga, agak sulit merealisasikan sebuah rumah dalam tempo sehari. " Informasi terakhir, warga merespon positif. Bahkan, mereka sudah mulai meratakan lahannya," ungkapnya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun