Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Belajarlah Toleransi ke Pinggang Merbabu

26 Desember 2018   15:09 Diperbarui: 25 Desember 2019   16:19 1556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemeluk Budha menunggu ucapan selamat dari warga (foto: dok pri)

Dusun Thekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang merupakan perkampungan kecil di pinggang gunung Merbabu. Kendati begitu, ada sisi menarik di sini, yakni toleransi beragama di kalangan warganya. Hal tersebut, terlihat saat digelar berbagai acara keagamaan, salah satunya hari Natal (25/12) kemarin. Seperti apa bentuk toleransinya? Berikut adalah catatannya untuk Indonesia.

Seperti galibnya umat Nasrani kebanyakan, saat tiba hari Natal, warga Dusun Thekelan sejak pagi hari sudah bersiap mengikuti kebaktian di Gereja setempat. Berpakaian rapi, mereka penuh khidmat mendengarkan khotbah pendeta. Sementara ibadah Natal berlangsung, ratusan warga non Nasrani menunggunya di luar.

Hingga akhirnya, prosesi ibadah Natal usai, para jemaat segera keluar dan berjajar di sepanjang jalan perkampungan. Ya, mereka berdiri berdampingan untuk menerima ucapaan selamat Natal dari warga lainnya yang nota bene merupakan pemeluk agama Islam, Budha dan Hindu. " Ini seperti ritual wajib yang harus dilaksanakan setiap peringatan hari besar keagamaan," kata Bento (35) tokoh pemuda Dusun Thekelan, Rabu (26/12) siang.

Di Thekelan yang namanya toleransi berjalan sepenuh hati (foto: dok Bento)
Di Thekelan yang namanya toleransi berjalan sepenuh hati (foto: dok Bento)
Satu persatu, warga non Nasrani menyalami para jemaat yang tengah merayakan Natal. Ada keharuan di sini, di mana tak sedikit warga yang saling berpelukan sembari meneteskan air mata. Sepertinya, perayaan Natal menjadi mirip hari raya Idhul Fitri sehingga prosesi saling bermaafan kerap melekat di antara mereka.

Setelah acara mengucapkan selamat selesai, barulah warga pemeluk agama Nasrani pulang ke rumah masing- masing. Mereka membuka pintu lebar- lebar untuk menerima kunjungan warga lainnya, tentunya tak lupa beragam makanan digelar di meja. Suasana sungguh cair, tidak terlihat adanya perbedaan. Sepertinya, pluralisme memang sengaja dirawat sepenuh hati.

Saling bersalaman, berpelukan dan mengucapkan selamat yang menjadi tradisi di dusun ini, sebenarnya telah berjalan berpuluh tahun. Di mana, saat perayaan hari Tri Suci Waisak tanggal 29 Mei 2018 lalu, umat Budha yang usai menggelar prosesi ibadah di Vihara Bhumika juga wajib menjalankan tradisi berjajar di sepanjang jalan untuk menerima ucapan selamat.

Pemeluk Budha menunggu ucapan selamat dari warga (foto: dok pri)
Pemeluk Budha menunggu ucapan selamat dari warga (foto: dok pri)
Tak jauh berbeda dengan peringatan hariTri Suci Waisak, selanjutnya di hari raya Idhul Fitri , saat umat Muslim merayakannya, warga non Muslim juga ikut menyambutnya. Seusai menjalankan ibadah sholat Ied, pemeluk agama Islam langsung berjajar untuk menerima ucapan selamat sekaligus saling bermaafan. " Selanjutnya, warna Muslim akan menggelar open house. Siapa pun boleh datang untuk menikmati kue lebaran," jelas Bento.

Dusun di Ujung Aspal

Menurut Bento, Dusun Thekelan memiliki penduduk 200 KK yang bila ditotal penghuninya mencapai sekitar 700 jiwa. Dari warga yang mayoritas berprofesi sebagai petani ini, mereka memiliki rumah ibadah berupa Masjid, Gereja dan Vihara yang lokasinya bisa disebut saling berdekatan. " Sejak jaman dulu, kami semua hidup rukun dengan mengabaikan perbedaan beragama," ungkap Bento.

Renovasi Masjid yang melibatkan warga non Muslim (foto: dok Bento)
Renovasi Masjid yang melibatkan warga non Muslim (foto: dok Bento)
Sudah menjadi hal yang lumrah, lanjut Bento, bila ada salah satu tempat ibadah tengah melakukan pembangunan, maka warga selalu turun tangan kendati yang bersangkutan bukan pemeluk agama itu. Sebagai contoh, ketika umat Nasrani harus meratakan lahan untuk Gereja, maka warga non Nasrani spontan ikut gugur gunung (kerja bhakti).

" Hal ini juga berlaku ketika umat Budha mendirikan Vihara, atau pun ketika umat Muslim akan membangun/ merenovasi Masjid. Tanpa dikomando, kami akan beramai- ramai membantunya agar segera mampu dimanfaatkan untuk ibadah," jelas Bento serius.

Dusun Thekelan, terletak di pinggang Gunung Merbabu yang berjarak sekitar 19 kilometer dari Kota Salatiga. Berada di ketinggian 1600 mdpl, udaranya dijamin sejuk di siang hari dan dingin di malam hari. Karena letaknya memang di ujung aspal , maka di sini terdapat basecamp Thekelan yang menjadi pintu masuk pendakian.

Gapura yang menjadi gerbang Dusun Thekelan (foto: dok pri)
Gapura yang menjadi gerbang Dusun Thekelan (foto: dok pri)
Anak- anak gunung, sebutan bagi para pemuda di Dusun Thekelan, mayoritas tergabung dalam Komunitas Peduli Putra Syarif (Komppas) selaku pengelola basecamp Thekelan, sekaligus tim SAR. Di dalam tubuh Komppas sendiri, personilnya memiliki agama yang berbeda- beda. " Untuk kepentingan alam dan kemanusiaan, tak elok bila ada sekat agama," tutur Bento.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun