Dusun Thekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang merupakan perkampungan kecil di pinggang gunung Merbabu. Kendati begitu, ada sisi menarik di sini, yakni toleransi beragama di kalangan warganya. Hal tersebut, terlihat saat digelar berbagai acara keagamaan, salah satunya hari Natal (25/12) kemarin. Seperti apa bentuk toleransinya? Berikut adalah catatannya untuk Indonesia.
Seperti galibnya umat Nasrani kebanyakan, saat tiba hari Natal, warga Dusun Thekelan sejak pagi hari sudah bersiap mengikuti kebaktian di Gereja setempat. Berpakaian rapi, mereka penuh khidmat mendengarkan khotbah pendeta. Sementara ibadah Natal berlangsung, ratusan warga non Nasrani menunggunya di luar.
Hingga akhirnya, prosesi ibadah Natal usai, para jemaat segera keluar dan berjajar di sepanjang jalan perkampungan. Ya, mereka berdiri berdampingan untuk menerima ucapaan selamat Natal dari warga lainnya yang nota bene merupakan pemeluk agama Islam, Budha dan Hindu. " Ini seperti ritual wajib yang harus dilaksanakan setiap peringatan hari besar keagamaan," kata Bento (35) tokoh pemuda Dusun Thekelan, Rabu (26/12) siang.
Setelah acara mengucapkan selamat selesai, barulah warga pemeluk agama Nasrani pulang ke rumah masing- masing. Mereka membuka pintu lebar- lebar untuk menerima kunjungan warga lainnya, tentunya tak lupa beragam makanan digelar di meja. Suasana sungguh cair, tidak terlihat adanya perbedaan. Sepertinya, pluralisme memang sengaja dirawat sepenuh hati.
Saling bersalaman, berpelukan dan mengucapkan selamat yang menjadi tradisi di dusun ini, sebenarnya telah berjalan berpuluh tahun. Di mana, saat perayaan hari Tri Suci Waisak tanggal 29 Mei 2018 lalu, umat Budha yang usai menggelar prosesi ibadah di Vihara Bhumika juga wajib menjalankan tradisi berjajar di sepanjang jalan untuk menerima ucapan selamat.
Dusun di Ujung Aspal
Menurut Bento, Dusun Thekelan memiliki penduduk 200 KK yang bila ditotal penghuninya mencapai sekitar 700 jiwa. Dari warga yang mayoritas berprofesi sebagai petani ini, mereka memiliki rumah ibadah berupa Masjid, Gereja dan Vihara yang lokasinya bisa disebut saling berdekatan. " Sejak jaman dulu, kami semua hidup rukun dengan mengabaikan perbedaan beragama," ungkap Bento.
" Hal ini juga berlaku ketika umat Budha mendirikan Vihara, atau pun ketika umat Muslim akan membangun/ merenovasi Masjid. Tanpa dikomando, kami akan beramai- ramai membantunya agar segera mampu dimanfaatkan untuk ibadah," jelas Bento serius.
Dusun Thekelan, terletak di pinggang Gunung Merbabu yang berjarak sekitar 19 kilometer dari Kota Salatiga. Berada di ketinggian 1600 mdpl, udaranya dijamin sejuk di siang hari dan dingin di malam hari. Karena letaknya memang di ujung aspal , maka di sini terdapat basecamp Thekelan yang menjadi pintu masuk pendakian.
Selain bergerak dalam pelestarian alam dan selaku tim SAR andalan, Komppas juga membuka basecampnya untuk kepentingan edukasi terhadap anak- anak di kampungnya. Di basecamp yang menempati rumah tak begitu besar, terdapat perpustakaan, serta sering digelar berbagai pelatihan.
Itulah sedikit gambaran betapa tingginya toleransi di Dusun Thekelan yang berada di pinggang Gunung Merbabu. Ketika di daerah lain, perbedaan kerap menjadi ancaman yang menyebabkan masyarakatnya terbelah, di sini serba adem. Begitu pula dengan hiruk pikuk politik, warga cenderung abai. Bagi mereka, rasa persaudaraan lebih penting dibanding kepentingan politik sesaat.Ah, Thekelan memang beda. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H