Menurut Parli, dengan upah sebesar Rp 100.000 per hari, dirinya harus pintar- pintar membaginya. Dari mulai untuk makan keseharian yang mencapai Rp 30.000, transport dan susu buat cucunya. Karena jatah beras berikut lauknya di rumah juga sangat diperlukan, otomatis susu bubuk sering tidak kebagian.
"Kalau normalnya satu dus susu untuk empat hari, agar awet, neneknya menjadikannya seminggu," jelasnya.
Rumah yang ditempati Parli dan Sutiyem sendiri bukanlah bangunan mewah, rumah berdinding papan serta triplek ini hanya berukuran 6 X 8 meter. Tidak ada fasilitas hiburan apa pun, bahkan listrik pun menyalur dari tetangganya. Satu- satunya yang disebut kamar hanyalah ruangan yang diberi sekat kain. Kendati begitu, kondisinya lumayan bersih.
"Agus meninggalkan anak istrinya tanpa pamit," kata Parli.
Raibnya Agus, rupanya membuat mertuanya geregetan. Karena selain mengurusi Tika yang dirawat di RSJ Kota Semarang, mereka juga harus merawat dua balita. Karena jengkel dengan keadaan, 2,5 bulan lalu, Adil dan Syafii diantarkan ke Salatiga, intinya diserahkan pada keluarga Parli.
"Mau tak mau ya harus kami terima, karena itu memang cucu kami," tutur Parli didampingi Sutiyem.
"Saya menolak keras keinginan orang yang mau mengadopsi cucu saya, makan tidak makan tetap akan saya rawat," ujar Sutiyem seraya memohon agar Agus pulang.
Hingga 2,5 bulan merawat dua cucu balitanya, Tika selaku ibu kandung Adil mau pun Syafii pernah datang sekali menjenguknya. Yang membuat Sutiyem perihatin, penderita Pospartum depression itu belum memperlihatkan indikasi kesembuhan.