Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Gereja Ayam, Rumah Doa bagi Semua Pemeluk Agama

16 Oktober 2018   18:35 Diperbarui: 16 Oktober 2018   21:00 1619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ini tanjakan menuju Gereja Ayam , harus jalan kaki (foto: dok pri)

Gereja Ayam, bangunan unik yang awalnya akan dijadikan tempat ibadah pemeluk agama Kristen, belakangan menjadi destinasi wisata. Karena penasaran, akhirnya Selasa (16/10) sore, saya bertandang ke lokasinya yang terletak di Dusun Gombong, Desa Kembanglimus, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang tersebut. Seperti apa bentuk fisiknya, berikut catatannya.

Dalam perjalanan dari Purworejo menuju Salatiga, saat singgah di salah satu warung makan di Kecamatan Salaman, saya dan ibunya anak- anak bertemu dengan seorang laki-laki asal Kota Magelang.

Dirinya mengaku baru saja mengunjungi Bukit Rhema yang bagian atasnya terdapat bangunan Gereja Ayam. " Tapi jangan mempunyai persepsi bangunan ini diperuntukkan bagi umat Kristen saja, sebab, sekarang sudah menjadi rumah doa untuk semua umat," kata lelaki setengah baya yang mengaku bernama Joni (40) tersebut.

Menurut Joni, sayang dilewatkan mengingat kami sudah dekat dengan lokasi Gereja Ayam. Sebab, paling lambat membutuhkan waktu tempuh sekitar 30 menit telah tiba di Desa Kembanglimus. "Mumpung sekarang baru pk 16.30, masih ada waktu 30 menit untuk mengunjunginya. Pk 17.00 biasanya sudah ditutup pengelola," ungkapnya.

Karena penasaran dengan provokasi Joni, akhirnya kami segera membayar makanan dan memacu kendaraan menuju arah Borobudur. Celakanya, penunjuk lokasi Gereja Ayam yang ada di jalan sangat minim, akibatnya, kendaraan kebablasan hingga Candi Borobudur. Setelah dua kali bertanya, barulah mendapat petunjuk titik lokasi secara akurat.

Jalan menuju Bukit Rhema melalui perkampungan (foto: dok pri)
Jalan menuju Bukit Rhema melalui perkampungan (foto: dok pri)
Dari jalan raya Salaman-Borobudur, untuk menuju Bukit Rhema, harus melewati perkampungan sejauh sekitar 500 meter. Di sini, pengelola menyediakan tempat parker yang dikelola warga setempat. Tarifnya, lumayan mahal, mobil Rp 10.000 dan sepeda motor Rp 5.000. " Tapi , di sini kendaraan dijamin aman pak. Mau parkir seharian juga tak dilarang," kata tukang parkir.

Setelah memarkirkan kendaraan, pengunjung diarahkan menuju Bukit Rhema, yakni perbukitan kecil yang harus ditempuh dengan cara jalan kaki, jaraknya sekitar 300 meter.

Sudut kemiringannya sangat lumayan, mencapai 70 derajat sehingga sangat menguras tenaga (orang tua). Sebelum memasuki tangga, terdapat bangunan permanen yang difungsikan menjadi loket penjualan tiket. "Tiket masuk Rp 15.000 perorang, sedangkan bagi turis luar negeri Rp 30.000," jelas seorang karyawan Gereja Ayam sembari menambahkan karena sudah pk 17.00, maka kami diijinkan masuk tanpa membayar.

Selepas bangunan penjualan tiket, mulailah uji stamina dimulai. Di sebelah kanan, terdapat tangga semen dan pegangan berupa pipa besi. Kendati jalan kakinya relatif santai , namun, ketika berada di tengah perjalan, benar- benar membuat paha sangat terasa pegal (maklum jarang olahraga). Hingga akhirnya, setelah keringat mulai keluar, tiba juga di areal Gereja Ayam.

Ini tanjakan menuju Gereja Ayam , harus jalan kaki (foto: dok pri)
Ini tanjakan menuju Gereja Ayam , harus jalan kaki (foto: dok pri)
Dibangun Tahun 1992-an

Begitu memasuki lokasi, terlihat bangunan raksasa yang menurut warga setempat memiliki 7 lantai. Konon, masing- masing lantai mempunyai filosofi tersendiri yang hanya diketahui oleh pendirinya.

Ada pun di lantai paling atas, tepatnya dibagian luar terdapat bangunan berbentuk mirip kepala ayam. Mungkin karena bentuknya tersebut, maka warga menyebutnya sebagai Gereja Ayam.

Sayang, saat kami akan memasuki bangunan yang menjadi ikon di Desa Kembanglimus ini, semua pintunya sudah tertutup rapat. Seorang anak muda yang mengaku sebagai karyawan, mengijinkan kami masuk tapi harus didampingi penjaga Gereja Ayam yang bernama Jito (40). " Jito akan menemani bapak, tetapi maaf Jito itu tuna wicara," jelasnya.

Bah ! Trus apa manfaatnya kalau dipandu seorang tunawicara? Memangnya dia bisa memberikan penjelasan? Karena kami pikir percuma adanya, akhirnya kami memilih tidak memasuki bangunan Gereja Ayam.

Lebih baik, kami menggali data melalui warga setempat saja. Wong maunya berdiskusi sembari ngobrol tentang sejarah berdirinya bangunan ini, malah diberi pemandu yang tak mampu berkomunikasi.

Penampakan utuh Gereja Ayam di sore hari (foto: dok pri)
Penampakan utuh Gereja Ayam di sore hari (foto: dok pri)
Berdasarkan keterangan warga, Gereja Ayam mulai dibangun di tahun 1990-an. Di mana, seorang pengusaha asal Jakarta yang bernama Daniel Alamsjah (75) mendapatkan mimpi untuk membangun rumah doa di lahan perbukitan yang belum dikenalnya. Karena mimpi yang sama terjadi berulangkali, akhirnya tahun 1988, dirinya berupaya menelisik sebuah bukit kecil di Desa Kembanglimus.

Setibanya di lokasi bukit tak bernama, Daniel sempat bermeditasi semalaman. Akhirnya, ia memutuskan bahwa lahan inilah yang dimaksud dalam mimpi- mimpinya. Karena sudah merasa mantap, tahun 1990-an dirinya melakukan pembebasan lahan.

Hingga tahun 1992, dimulailah pembangunan tempat ibadah umat Kristen. " Nama Bukit Rhema sendiri yang menamainya ya pak Daniel, artinya kalau tidak salah adalah firman hidup," ungkap warga yang menolak disebut namanya.

Gereja Ayam nampak dari samping kanan (foto: dok pri)
Gereja Ayam nampak dari samping kanan (foto: dok pri)
Karena memang medannya lumayan berat, maka pembangunan Gereja Ayam mengalami kendala. Bahkan, di tahun 1996, saat negara ini terkena dampak krisis moneter, proses pembangunan dihentikan.

Empat tahun kemudian, muncul penolakan warga yang kurang setuju atas keberadaan Gereja Ayam. "Penyebutan Gereja Ayam sebenarnya juga keliru, karena yang dianggap kepala ayam itu merupakan kepala merpati, simbol perdamaian," tutur warga yang sama.

Aula di lantai satu saat sore hari lampu dinyalakan (foto; dok pri)
Aula di lantai satu saat sore hari lampu dinyalakan (foto; dok pri)
Terbengkalai selama bertahun- tahun, akhirnya tahun 2014, Daniel kembali mengelola Gereja Ayam menjadi rumah doa bagi agama apa pun. Selain itu, konsep wisata religi, wisata edukasi dan wisata alam. Kebetulan, dari puncak Bukit Rhema, pengunjung mampu menikmati matahari terbit (sunrise) serta pegunungan Menoreh.

Apa yang disampaikan warga tersebut, memang benar adanya. Meski dikenal sebagai Gereja Ayam yang konotasinya merupakan tempat ibadah umat Kristiani, namun saat kami berkeliling, terlihat adanya mushola kecil lengkap dengan fasilitas wudlunya. Demikian catatan mengenai keberadaan Gereja Ayam yang sempat menarik perhatian produser film AADC 2 sehingga menjadikan lokasi ini tampil di layar lebar. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun