Menurut Moh Sabar, munculnya sabana di tepi Rawa Pening sebenarnya merupakan hal yang biasa, bahkan terjadi saban tahun. Yang mana, saat musim kemarau tiba, permukaan air di Rawa dipastikan mengalami penyusutan.Â
"Sabana ini akan berakhir ketika hujan turun. Tidak usah lama- lama, turun satu jam saja, pengunjung bakal sepi," ungkapnya.
Kendati terjadi saban musim kemarau, lanjut Moh Sabar, namun di tahun- tahun sebelumnya tidak seramai sekarang. Penyebabnya, pengunjung hanya sebatas warga setempat dan tak meramaikannya di medsos.Â
"Seperti yang terjadi tahun 2017 lalu, juga muncul sabana, tetapi karena musim kemaraunya relatif pendek, maka kemunculannya belum mengundang perhatian publik," jelasnya.
Berbeda dengan sabana di pegunungan, ungkap Moh Sabar, padang rumput di tepian Rawa Pening terbentuk dari endapan lumpur dan kompos akibat pembusukan eceng gondok. Ketika semuanya mengering maka bisa menahan beban manusia, sebaliknya saat kondisinya basah, kaki orang yang melewatinya dipastikan bakal terperosok.
Selanjutnya, kata Juremi, saat air agak surut, lahan- lahan itu digarap oleh penduduk yang berprofesi sebagai petani. Namun, jelang hujan sawah tak bisa ditanami karena digenangi air. "Yang namanya bekas sawah, kalau mengering ya tumbuh rumput. Tapi kalau hujan, ya tidak bisa dilewati kecuali mau terperosok," ujar Juremi setengah slengekan.
Hal yang lucu dengan kemunculan sabana ini, di beberapa lokasi terlihat sampan mau pun jaring nelayan yang teronggok. Diduga, surutnya permukaan air dalam tempo singkat, membuat pemiliknya tak sempat memindahkannya ke tepian Rawa Pening. Oleh banyak pengunjung, sampan-sampan kosong dijadikan tempat berselfie.