Museum R. Hamong Wardoyo yang diharapkan  akan menjadi salah satu ikon di Kabupaten Boyolali,ternyata belum mampu mengundang para peminat sejarah untuk mengunjunginya. Padahal, tempat menyimpan beragam benda sisa peradaban masa lalu itu, sebenarnya sangat keren. Seperti apa gambarannya, berikut catatannya di lapangan.
Sudah sejak lama saya ingin mengunjungi museum yang dibangun di atas lahan milik Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jalan Raya Boyolali- Surakarta ini. Kendati hanya berjarak sekitar 30 kilometer dari Kota Salatiga, namun, rencana itu selalu tertunda. Hingga akhirnya, setelah menuntaskan acara di Klaten, keinginan tersebut terealisasi.
Terdapat ruang utama berbentuk segi enam yang terhubung tangga menuju lantai  II. Ada kereta kencana yang konon dulunya hanya boleh dipergunakan para Raja, meriam kuno, deretan foto mantan bupati Boyolali serta berbagai arca yang kondisinya sudah tak utuh lagi. Diduga, arca- arca itu sebelum disimpan di museum sempat terlantar di lokasi penemuannya.
Di ruangan yang sama, terlihat patung harimau Sumatera yang kemungkinan besar kulitnya diambil dari binatang aslinya. Sementara di atas meja terdapat koleksi uang koin kuno yang jumlahnya mencapai puluhan, dan beberapa miniatur yang menggambarkan perjalanan Kabupaten Boyolali bisa disimak di sini.
Sementara di ruang sayap, terlihat puluhan orang tengah memainkan alat musik tradisional gamelan. Sehingga, ketika kita berada di dalam museum, maka telinga kita bakal dimanjakan oleh suara klenengan khas Jawa. Semakin lama dinikmati, mata kita kita bakal terkantuk- kantuk.
Museum R. Hamong Wardoyo yang dari bagian luar terlihat seperti replika museum Louvre di Paris, Perancis ini, memiliki atap mirip piramida yang dibuat menggunakan material kaca tebal tembus pandang, sementara di bagian bawah, sekelilingnya dibalut rumput nan apik. Â Perpaduan cat tembok warna putih dengan sinar matahari yang mampu menembus bagian dalam, membuat suasana makin cerah.
Sayangnya, kendati terkesan berarsitektur mewah, namun banyak ruang kosong akibat terlalu minimnya koleksi benda purbakala yang tersimpan di dalamnya. Â Di mana, beberapa dokumentasi foto (hasil repro) yang sebenarnya kurang layak dipajang, terlihat menempel di dinding . Begitu pun dengan beragam kerajinan berbahan baku kuningan, sepertinya sengaja dipajang sebagai pelengkap karena bukan termasuk katagori benda kuno.
Triyani (32) warga Desa Urut Sewu, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali ketika dikonfirmasi mengenai museum tersebut, mengaku baru mendengarnya sekarang namun tidak mengetahui lokasinya. " Entah saya yang kurang dolan (main) atau memang publikasinya yang kurang, yang pasti nama itu baru saya dengar sekarang," jelasnya.
Apa yang diungkapkan Yesicha sepertinya perlu ditindaklanjuti, untuk menjadi destinasi wisata edukasi, pihak pengelola harus getol menjalin kerja sama dengan guru- guru SD, SMP hingga SMA/SMK agar menggiring siswanya ke museum ini. Begitu pun perihal koleksi,peninggalan- peninggalan purbakala seantero Kabupaten Semarang segera disisir serta disatukan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H