Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Duh, Sengsaranya Janda Pembuat Sapu Lidi di Pabelan

29 Juni 2018   15:36 Diperbarui: 29 Juni 2018   22:28 3094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sutiyem (62) warga Dusun Cikalan RT 01 RW 05, Desa Padaan, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang sepertinya sarat dengan kesengsaraan. Hidup sendirian, rumahnya pun sangat tak layak ditempati. Seperti apa gambaran kehidupan janda dhuafa tersebut, berikut penelusurannya.

Keberadaan nenek tanpa anak yang hidup di pelosok Kabupaten Semarang ini, awalnya saya dapatkan dari relawan KPKS Santun dan Lentera Kasih untuk Sesama (Lensa) Kota Salatiga. Di mana, disebutkan bahwa kondisi rumah Sutiyem tidak layak untuk ditinggali karena banyak lobang menganga di dindingnya.

Penasaran dengan penjelasan para relawan, Jumat (29/6) siang, saya dan ibunya anak- anak mendatangi rumah Sutiyem yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Kota Salatiga. Sembari menenteng sembako titipan hamba Allah, kami melewati perkampungan serta hutan karet. Tak sulit menemukan tempat tinggal janda miskin ini, nyaris seluruh warga kampung mengenalnya.

Hutan karet sebelum tiba di rumah Sutiyem (foto: dok pri)
Hutan karet sebelum tiba di rumah Sutiyem (foto: dok pri)
Rumah Sutiyem terbuat dari anyaman bambu , tapi karena sudah kelewat uzur, anyaman itu banyak yang keropos sehingga mengakibatkan lobang besar. Untuk mensiasatinya, ditambal terpal biru. Kendati begitu, di bagian belakang di biarkan menganga. Akibatnya, sirkulasi udara di ruangan dalam dijamin sangat lancar. Bahkan, di malam hari, beliau tak perlu pendingin udara.

Ternyata Sutiyem tidak berada di rumahnya, karena melihat kehadiran orang asing, dua tetangganya, yakni mbah Kamtilah dan Napsiah mendatangi kami. Mereka mempersilahkan kami masuk agar mampu melihat kondisi rumah. Duh !...Rumah berukuran 4 X 6 meter ini mirip kapal pecah. Di bagian teras, terdapat tumpukan kayu bakar yang berserekahan. " Saya dan warga lainnya sudah berulangkali meminta membersihkannya, tapi mbah Sutiyem selalu ngeyel," kata Napsiah

mbah Kamtilah dan Napsiah , tetangga Sutiyem (foto: dok pri)
mbah Kamtilah dan Napsiah , tetangga Sutiyem (foto: dok pri)
Berdalih kayu- kayu bakar itu bisa membikin hangat tubuh, Sutiyem menolak menyingkirkannya. Memang, untuk masak sehari- hari, ia menggunakan tungku terbuat dari tanah liat berbahan kayu. Cara memasak mirip jaman pemerintahan kolonial Belanda, sepertinya kemerdekaan belum menyentuh diri janda alm Rusdi tersebut.

Menurut Napsiah , pihak warga mau pun pemerintahan desa Padaan sebenarnya sangat memperhatikan Sutiyem. Namun, Sutiyem seperti menikmati kehidupannya sehingga agak sulit diarahkan. " Itu ada bantuan untuk membuat jamban, berupa bis beton dan batako," jelasnya sembari menunjuk material bantuan desa.

Material untuk pembuatan jamban sudah cukup lama teronggok, tak segera dibuat karena terbentur soal biaya. Sebenarnya warga berniat membikinkannya, sayang, terbentur masalah waktu. Semisal direalisasi pun, sepertinya Sutiyem agak repot memanfaatkannya, sebab, rumahnya belum tersambung aliran air.

Begini dinding rumah Sutiyem bagian belakang (foto: dok pri)
Begini dinding rumah Sutiyem bagian belakang (foto: dok pri)
Membuat Sapu Lidi

Sutiyem, menurut Napsiah, semenjak ditinggal mati Rusdi lima tahun lalu, ia hidup sendiri di rumahnya yang bertype rumah sangat sederhana sekali (RSSS) peninggalan sang suami. Celakanya, lahan yang ditempati merupakan warisan keluarga pihak suami, artinya bukan harta gono gini. Kendati begitu, dirinya diijinkan menempatinya.

Untuk menyambung hidup, saban hari Sutiyem mencari daun kelapa guna diambil lidinya. Setelah diserut , dibuat sapu lidi yang dibeli oleh warga setempat. " Mungkin sekarang tengah mencari daun kelapa, biasanya sore hari baru pulang," jelas Napsiah menjawab pertanyaan kami.

Karena penghasilannya dari membuat sapu lidi tak menentu, maka untuk makan sehari- hari Sutiyem lebih banyak dibantu tetangga. Meski begitu, namanya saja membantu ya tak mungkin bisa dilakukan setiap saat. Sebab, masing- masing mempunyai kesibukan sendiri- sendiri. Jadi, tergantung waktu luang atau pas longgar saja.

Kamar Sutiyem disekat kain spanduk (foto: dok pri)
Kamar Sutiyem disekat kain spanduk (foto: dok pri)
Ketika kami memasuki rumah Sutiyem yang berlantai tanah, kami agak terpana. Pasalnya, rumah mungil itu tak terlihat perabot seperti galibnya orang kebanyakan. Selain terdapat meja tua, bagian dapur juga menyatu. Untuk merebahkan tubuh, Sutiyem membuat kamar berupa sekat berbahan kain spanduk.

Saat kamarnya dilongok, beragam barang seperti biskuit, pakaian hingga benda- benda tak terpakai lainnya teronggok begitu saja. Rumah type RSSS ini tidak dilengkapi fasilitas MCK. Untuk membuang hajat, Sutiyem memanfaatkan kebun bambu atau sungai yang mengering. " Kalau cebok, biasanya ke Masjid yang berjarak sekitar 50 meter," ungkap Napsiah.

Begini isi kamar Sutiyem (foto: dok pri)
Begini isi kamar Sutiyem (foto: dok pri)
Sementara di bagian belakang, karena anyaman bambunya sudah keropos parah, dibiarkan terbuka lebar. Di siang hari mungkin terasa sejuk, sebaliknya di malam hari, dipastikan udara dingin leluasa merangsek ke dalam. " Meski dalam kondisi seperti ini, beliau tak pernah mengeluh kedinginan," kata Napsiah.

Hampir satu jam kami menunggu kedatangan Sutiyem, sayang beliau tidak datang juga. Karena masih ada urusan lain, maka sembako yang bisa dimanfaatkan sekitar 2 minggu kami titipkan pada mbah Kamtilah. Kami berpesan, lusa mendatang kami akan sowan lagi.

Sapu lidi buatan Sutiyem (foto: dok pri)
Sapu lidi buatan Sutiyem (foto: dok pri)
Dalam perjalanan pulang, kami berfikir, terlepas Sutiyem agak sulit diarahkan, namun, untuk memanusiakan manusia, sebaiknya komunitas sosial yang ada di Kota Salatiga mau pun Kabupaten Semarang sebaiknya meluangkan waktunya guna membedah rumah nenek dhuafa ini. Pasalnya, nanti di musim hujan, beliau pasti didera kedinginan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun