Sutiyem (62) warga Dusun Cikalan RT 01 RW 05, Desa Padaan, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang sepertinya sarat dengan kesengsaraan. Hidup sendirian, rumahnya pun sangat tak layak ditempati. Seperti apa gambaran kehidupan janda dhuafa tersebut, berikut penelusurannya.
Keberadaan nenek tanpa anak yang hidup di pelosok Kabupaten Semarang ini, awalnya saya dapatkan dari relawan KPKS Santun dan Lentera Kasih untuk Sesama (Lensa) Kota Salatiga. Di mana, disebutkan bahwa kondisi rumah Sutiyem tidak layak untuk ditinggali karena banyak lobang menganga di dindingnya.
Penasaran dengan penjelasan para relawan, Jumat (29/6) siang, saya dan ibunya anak- anak mendatangi rumah Sutiyem yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Kota Salatiga. Sembari menenteng sembako titipan hamba Allah, kami melewati perkampungan serta hutan karet. Tak sulit menemukan tempat tinggal janda miskin ini, nyaris seluruh warga kampung mengenalnya.
Ternyata Sutiyem tidak berada di rumahnya, karena melihat kehadiran orang asing, dua tetangganya, yakni mbah Kamtilah dan Napsiah mendatangi kami. Mereka mempersilahkan kami masuk agar mampu melihat kondisi rumah. Duh !...Rumah berukuran 4 X 6 meter ini mirip kapal pecah. Di bagian teras, terdapat tumpukan kayu bakar yang berserekahan. " Saya dan warga lainnya sudah berulangkali meminta membersihkannya, tapi mbah Sutiyem selalu ngeyel," kata Napsiah
Menurut Napsiah , pihak warga mau pun pemerintahan desa Padaan sebenarnya sangat memperhatikan Sutiyem. Namun, Sutiyem seperti menikmati kehidupannya sehingga agak sulit diarahkan. " Itu ada bantuan untuk membuat jamban, berupa bis beton dan batako," jelasnya sembari menunjuk material bantuan desa.
Material untuk pembuatan jamban sudah cukup lama teronggok, tak segera dibuat karena terbentur soal biaya. Sebenarnya warga berniat membikinkannya, sayang, terbentur masalah waktu. Semisal direalisasi pun, sepertinya Sutiyem agak repot memanfaatkannya, sebab, rumahnya belum tersambung aliran air.
Sutiyem, menurut Napsiah, semenjak ditinggal mati Rusdi lima tahun lalu, ia hidup sendiri di rumahnya yang bertype rumah sangat sederhana sekali (RSSS) peninggalan sang suami. Celakanya, lahan yang ditempati merupakan warisan keluarga pihak suami, artinya bukan harta gono gini. Kendati begitu, dirinya diijinkan menempatinya.
Untuk menyambung hidup, saban hari Sutiyem mencari daun kelapa guna diambil lidinya. Setelah diserut , dibuat sapu lidi yang dibeli oleh warga setempat. " Mungkin sekarang tengah mencari daun kelapa, biasanya sore hari baru pulang," jelas Napsiah menjawab pertanyaan kami.
Karena penghasilannya dari membuat sapu lidi tak menentu, maka untuk makan sehari- hari Sutiyem lebih banyak dibantu tetangga. Meski begitu, namanya saja membantu ya tak mungkin bisa dilakukan setiap saat. Sebab, masing- masing mempunyai kesibukan sendiri- sendiri. Jadi, tergantung waktu luang atau pas longgar saja.
Saat kamarnya dilongok, beragam barang seperti biskuit, pakaian hingga benda- benda tak terpakai lainnya teronggok begitu saja. Rumah type RSSS ini tidak dilengkapi fasilitas MCK. Untuk membuang hajat, Sutiyem memanfaatkan kebun bambu atau sungai yang mengering. " Kalau cebok, biasanya ke Masjid yang berjarak sekitar 50 meter," ungkap Napsiah.
Hampir satu jam kami menunggu kedatangan Sutiyem, sayang beliau tidak datang juga. Karena masih ada urusan lain, maka sembako yang bisa dimanfaatkan sekitar 2 minggu kami titipkan pada mbah Kamtilah. Kami berpesan, lusa mendatang kami akan sowan lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H