Karena penghasilannya dari membuat sapu lidi tak menentu, maka untuk makan sehari- hari Sutiyem lebih banyak dibantu tetangga. Meski begitu, namanya saja membantu ya tak mungkin bisa dilakukan setiap saat. Sebab, masing- masing mempunyai kesibukan sendiri- sendiri. Jadi, tergantung waktu luang atau pas longgar saja.
Kamar Sutiyem disekat kain spanduk (foto: dok pri)
Ketika kami memasuki rumah Sutiyem yang berlantai tanah, kami agak terpana. Pasalnya, rumah mungil itu tak terlihat perabot seperti galibnya orang kebanyakan. Selain terdapat meja tua, bagian dapur juga menyatu. Untuk merebahkan tubuh, Sutiyem membuat kamar berupa sekat berbahan kain spanduk.
Saat kamarnya dilongok, beragam barang seperti biskuit, pakaian hingga benda- benda tak terpakai lainnya teronggok begitu saja. Rumah type RSSS ini tidak dilengkapi fasilitas MCK. Untuk membuang hajat, Sutiyem memanfaatkan kebun bambu atau sungai yang mengering. " Kalau cebok, biasanya ke Masjid yang berjarak sekitar 50 meter," ungkap Napsiah.
Begini isi kamar Sutiyem (foto: dok pri)
Sementara di bagian belakang, karena anyaman bambunya sudah keropos parah, dibiarkan terbuka lebar. Di siang hari mungkin terasa sejuk, sebaliknya di malam hari, dipastikan udara dingin leluasa merangsek ke dalam. " Meski dalam kondisi seperti ini, beliau tak pernah mengeluh kedinginan," kata Napsiah.
Hampir satu jam kami menunggu kedatangan Sutiyem, sayang beliau tidak datang juga. Karena masih ada urusan lain, maka sembako yang bisa dimanfaatkan sekitar 2 minggu kami titipkan pada mbah Kamtilah. Kami berpesan, lusa mendatang kami akan sowan lagi.
Sapu lidi buatan Sutiyem (foto: dok pri)
Dalam perjalanan pulang, kami berfikir, terlepas Sutiyem agak sulit diarahkan, namun, untuk memanusiakan manusia, sebaiknya komunitas sosial yang ada di Kota Salatiga mau pun Kabupaten Semarang sebaiknya meluangkan waktunya guna membedah rumah nenek dhuafa ini. Pasalnya, nanti di musim hujan, beliau pasti didera kedinginan. (*)
Lihat Humaniora Selengkapnya