Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agus Widodo, Pemuda Tangguh dari Pelosok Kabupaten Semarang

22 Juni 2018   17:52 Diperbarui: 22 Juni 2018   17:53 2264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Agus Widodo 24 tahun merangkak untuk berinteraksi (foto: dok pri)

Agus Widodo, pemuda difabel berumur 27 tahun warga Dusun  Bulu RT 4 RW  4 Desa Dadap Ayam, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang layak diapresiasi. Tak pernah mengenyam pendidikan formal, namun, ia mampu menjadi pribadi yang tangguh serta mandiri. Seperti apa perjuangannya agar bisa hidup sejajar dengan anak muda lainnya, berikut catatannya.

Terlahir sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, sejak kecil Agus telah kenyang dengan penderitaan. Putra pasangan alm Jamal dan Miyati (70) ini mengalami kelainan pada dua kakinya, sehingga tak mampu tumbuh seperti anak- anak pada umumnya. " Umur dua tahun, jangankan berjalan , untuk duduk saja tidak mampu," kata Miyati, Jumat (22/6) sore ketika ditemui di rumahnya.

Karena mendeteksi adanya kelainan pada diri putranya, Miyati mau pun alm suaminya berupaya mengobatinya dengan berbagai cara tradisional. Maklum, mereka berdua tinggal di pelosok Kabupaten Semarang yang saat itu, segala bentuk akses sangat terbatas. " Asal ada yang memberitahu keberadaan orang 'pintas', kami pasti segera membawa Agus ke sana," ungkapnya.

Agus bersama ibu kandungnya (foto: dok pri)
Agus bersama ibu kandungnya (foto: dok pri)
Hingga usia Agus memasuki angka 5, Miyati baru menyadari bahwa anak laki- laki satu- satunya itu telah mengalami kelumpuhan. Pasalnya, bentuk dua kakinya tak mengalami perkembangan seperti organ tubuh lainnya. Ia hanya mampu merangkak, bila bepergian agak jauh harus digendong. " Inilah yang menyebabkan Agus tidak pernah merasakan bangku sekolah," jelas Miyati.

Satu- satunya Sekolah Dasar (SD) terdekat, lanjut Miyati, berjarak sekitar 1,5 kilometer dari rumahnya. Kalau saban hari harus menggendong pulang pergi, suaminya mau pun Miyati sendiri angkat tangan. Sebab, sebagai petani, waktu yang  mereka miliki banyak tersita di sawah. Akhirnya, keputusan diambil, Agus tidak disekolahkan.

Seiring dengan berjalannya tahun, Agus Widodo pun mulai beranjak remaja. Melihat tiap malam kakak- kakak perempuannya belajar, ia mulai memperhatikannya. Dirinya ngotot minta diajari cara membaca dan menulis, tentunya hal itu dianggap merecoki jam belajar kakaknya. Karena, mereka sama sekali tak mempunya bekal selaku seorang pendidik (guru).

Kendati tertatih, Agus tak patah semangat. Secara perlahan, huruf demi huruf mulai dikenalnya. Ia mencoba merangkainya membentuk kata dan selanjutnya diubah menjadi kalimat. Hasilnya, luar biasa !. Tanpa disadari, dirinya mampu baca tulis. " Saya sendiri juga heran, tiba- tiba bisa membaca buku," kata Agus.

Adanya keajaiban ini, tidak disia- siakan oleh Agus. Beragam buku sengaja ia baca meski terkadang tak mengetahui artinya. Yang penting, baginya mampu menjadi orang yang melek huruf harus disyukuri. Karena, seumur hidupnya belum pernah diajar oleh seorang guru mana pun.

24 Tahun Merangkak

Dalam perjalanannya, kendati bukan orang buta huruf, namun hidup keseharian Agus sangat mengenaskan. Untuk berinteraksi dengan temannya atau tetangganya, ia harus merangkak. Mengandalkan kekuatan dua tangannya, dirinya mencoba bersosialisasi. Akibatnya, pemuda itu kerap diejek anak- anak kecil. " Anak- anak berumur lima tahunan sering meledek. Mereka menyebut saya anak muda yang berjalan kaki saja tidak becus," ungkapnya.

Ya, kedua lutut Agus memang sangat lemah. Jangankan untuk berjalan, guna menopang berdiri saja tak mampu. Akhirnya, ia tumbuh menjadi pemuda lumpuh (difabel) yang ke mana- mana harus merangkak. " Ke hutan yang jaraknya sekitar satu kilo meter pun, saya juga merangkak. Biasanya, celana di bagian lutut nantinya sobek- sobek," tuturnya sembari tertawa.

Agus dengan motor rakitannya (foto: dok pri)
Agus dengan motor rakitannya (foto: dok pri)
Dirinya boleh mengalami kelumpuhan dan segala sesuatunya harus dijalani dengan keterbatasan fisik, meski begitu, Agus merupakan pribadi yang hangat. Bersama teman- temannya yang tergabung dalam Karang Taruna, ia pernah mengikuti pelatihan kerajinan tangan berbahan baku kayu. Rupanya, pelatihan tersebut dianggap membosankan oleh teman- teman di kampungnya. Terbukti, tidak satu pun yang berminat menekuninya.

Kesempatan inilah yang dimanfaatkan Agus, perangkat bubut diboyongnya ke rumahnya. Kebetulan, di teras terdapat ruang yang cukup untuk menaruh berbagai perabot itu. Mulailah ia membuat aneka kerajinan tangan dengan bahan baku limbah kayu. Dari mulai miniatur sepeda motor, mobil- mobilan hingga asbak mampu diproduksinya.

Beragam mainan souvenir itu mampu dijual dengan harga minimal Rp 5.000 dan paling mahal  Rp 100.000  perbijinya.Karena memang Agus merupakan pemuda yang sangat irit, uang hasil penjualan selalu ditabungnya.  " Ketika anak sebaya saya mulai merokok, saya tak mau mengikutinya. Lebih baik uang saya tabung," tuturnya.

Ketika uang ditabungannya telah mencapai jumlah sekitar Rp 3.000.000, Agus mulai berfikir, bagaimana caranya ia mampu bepergian jauh tanpa harus merangkak. Sebab, selama 24 tahun menggunakan lutut serta dua tangannya berimbas pada minimnya pengetahuan yang diperoleh.

 " Hampir selama 24 tahun itu, yang namanya Kota Salatiga yang berjarak 20 kilometer baru saya lihat dengan mata kepala sendiri tak lebih dari dua kali," ungkap Agus serius.

Peralatan Agus untuk membuat kerajinan tangan (foto: dok pri)
Peralatan Agus untuk membuat kerajinan tangan (foto: dok pri)
Merakit Sepeda Motor

Ingatan Agus masih kuat, di mana saat kecil, dengan digendong ibunya, ia diajak ke Kota Salatiga. Sempat dibuat terbengong- bengong melihat hituk pikuk kota. Hal ini, tentunya sangat dimaklumi. Dusun Bulu, tempat tinggalnya merupakan wilayah paling pojok Kecamatan Suruh. " Saya membayangkan, semisal punya sepeda motor, maka saban hari saya bisa main ke Salatiga," jelas Agus.

Akhirnya, mimpi Agus untuk memiliki sepeda motor terwujut di tahun 2015. Tetangganya yang memiliki Honda Prima tahun 80 an, berniat menjualnya. Oleh Agus, kendaraan itu dibeli dengan harga Rp 1,5 juta. Selanjutnya, dibantu kakak iparnya, ia membawanya ke salah satu bengkel. " Dengan biaya Rp 1,5 juta, saya minta dibuatkan gandengan sehingga saya bisa mengendarainya," ungkapnya.

Setelah motor gandengnya jadi, Agus pun mulai belajar mengendarainya. Karena seumur hidupnya belum pernah belajar sepeda motor, maka, berulangkali dirinya terjungkal. Kendati begitu, pemuda ini tak mengenal kosa kata jera. Dia terus belajar hingga mahir

Souvenir hasil produksi Agus (foto: dok pri)
Souvenir hasil produksi Agus (foto: dok pri)
Setelah memiliki sepeda motor, mulailah Agus mengenal dunia luar. Ia tak lagi hanya berkutat di kampungnya yang memang sangat pelosok itu. Perlahan, dirinya berkenalan dengan orang- orang senasipnya yang tergabung dalam IM3 BOYS (Ikatan Motor Roda Tiga Boyolali Salatiga), yakni komunitas difabel gabungan warga Kabupaten Boyolali dan Salatiga.

Berkat kesigapannya dalam berkomunitas, tahun 2016 lalu, Agus mendapat bantuan kursi roda dari YPAC Kota Jogjakarta yang disalurkan melalui YPAC Kota Semarang. Sekarang, setiap saat kursi roda tersebut menemaninya ke mana pun pergi. Bila harus ke luar kota, maka kursi roda ditaruh di gandengan yang terletak di samping kiri motornya. " Mulai Jogja, Semarang, Magelang hingga Surakarta, semua sudah saya jelajahi," tuturnya bangga.

Atas pencapaiannya yang diperoleh secara susah payah itu, Agus sangat mensyukurinya. Sehingga, sebagai umat Muslim, dirinya tak pernah terlambat menunaikan sholat lima waktu. Demikian pula di bulan Ramadhan, puasa dijalaninya dengan sepenuh hati. " Mohon doanya kelak bisa menunaikan ibadah haji," ungkapnya ketika mengakhiri perbincangan.

Itulah sosok Agus Widodo, pemuda difabel dari pelosok Kabupaten Semarang. Ia harus tertatih untuk mengenal huruf, dirinya selama 24 tahun merangkak tanpa mengeluh sedikit pun. Hebatnya lagi, sepanjang ingatannya, belum pernah meminta uang sepeser pun pada orang tuanya. Benar- benar anak muda yang menginspirasi. (*)

Catatan ini juga ditayangkan di microsite Allianz https://kadoumroh.allianz.co.id/. Anda bisa ikut membagikan kisah inspiratif pada link ini dengan menggunakan hashtag #KadoUmrohAllianzKompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun