Seperti galibnya pemeluk agama Budha, Selasa tanggal 29 Mei 2018 pagi, warga Dusun Thekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan , Kabupaten Semarang juga menggelar peringatan hari Tri Suci Waisak di Vihara Bhumika setempat. Eloknya, para pemeluk agama non Budha, ikut menunggui prosesi tersebut dan memberikan ucapan selamat. Seperti apa gambarannya, berikut catatannya.
Sekitar pk 08.00, seluruh umat Budha yang berdiam di Dusun Thekelan sudah memulai prosesi peringatan hari Tri Suci Waisak. Kebetulan, di dusun ini memang terdapat Vihara bernama Bhumika yang dijadikan tempat ibadah pemeluk Budha. Sementara peringatan keagamaan tengah berlangsung, umat Muslim dan Kristiani yang tinggal di punggung Merbabu, ikut menunggunya.
Selanjutnya Kepala Desa Batur , Radix Wahyu Dwi Yuni Ariadi yang ikut hadir, mewakili warga Desa Batur memberikan ucapan selamat atas perayaan hari suci umat Budha tersebut. Usai ditutup pernyataan singkat itu, spontan warga non Budha langsung menyalami satu persatu umat Budha yang berdiri berjajar di sepanjang jalan.
Ya, apa yang diungkapkan ibu berhijab itu benar adanya. Momen seperti peringatan Tri Suci Waisak, Natal dan hari Raya Idhul Fitri merupakan ritual wajib yang diikuti oleh seluruh penghuni dusun yang berada terletak di pintu masuk pendakian Gunung Merbabu tersebut.
Kendati berada di ujung aspal, namun, rasa kebersamaan yang ada di Thekelan sangat layak diapresiasi. Di sini, terdapat tiga pemeluk agama, yakni Islam , Kristen dan Budha.Untuk mendukung kebebasan beragama tersebut, di dusun yang sama berdiri Masjid, Gereja serta Vihara. Semuanya berjalan normal, belum pernah terjadi gesekan antar umat. Sepertinya, toleransi benar- benar sangat dijunjung tinggi.
Di kampong yang berada di ketinggian 1600 mdpl ini, kawula mudanya juga berbaur dalam Komunitas Peduli Putra Syarif Merbabu (Komppas) selaku pengelola basecamp Merbabu sekaligus merupakan tim SAR andalan bagi pendaki yang menemui masalah di atas puncak Merbabu. " Di dalam Komppas, personilnya memiliki keberagaman beragama. Dan hal itu tak masalah bagi kami," ungkap Bento, pentolan Komppas.
Menurut Bento, Komppas merupakan komunitas pendaki yang orientasinya bergerak dibidang sosial, jadi, otomatis perbedaan agama tak menjadi penghalang. Bahkan, satu sama lain saling memberikan support. " Kalau sudah menangani pendaki yang tersesat atau mengalami kecelakaan, kan tidak mungkin kami menanyakan agama mereka," jelasnya.
Kembali pada peringatan hari keagamaan, menjelang Natal, saat umat Kristiani menghiasi kampung dengan pernak pernik Natal, warga non Kristiani juga ikut terlibat. Hingga tiba di hari H, saat pemeluk agama Kristen menggelar kebaktian di Gereja, warga lainnya dengan sabar menunggunya di luar. Mereka menanti sekaligus menjaga prosesi kebaktian.
Lantas, bagaimana di hari Raya Idhul Fitri ? Kiranya momen serupa juga senantiasa digelar. Di mana, ketika umat Muslim tengah menggelar sholat Ied, warna non Muslim dengan setia menunggunya di luar Masjid. Begitu prosesi sakral selesai, warga pemeluk agama Kristen mau pun Budha langsung menyalami saudaranya yang akan merayakan hari Raya. Tak ada sekat sedikit pun, bahkan berbagi ketupat dan opor pun jadi hal yang lumrah adanya.
Itulah sedikit gambaran toleransi beragama di punggung Gunung Merbabu, di Dusun berpenduduk 175 KK ini, segala sesuatunya berjalan secara damai dan tentram. Tidak ada yang memaksakan kehendak sedikit pun, semuanya mengikuti ritme kehidupan sewajarnya. Oh ! Keren. Sepertinya, Indonesia layak belajar ke Thekelan. Sungguh, datanglah ke sini bila ingin menemukan kedamaian. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H