Suryati (65) janda duafa warga Dusun Tajuk RT 2 RW 3, Tajuk, Getasan, Kabupaten Semarang, akhirnya mampu bernafas lega. Berkat dukungan para donatur, ia mampu menempati rumah permanen untuk menghabiskan usia tuanya. Bagaimana ia mendapatkan tempat tinggal yang layak huni ? Berikut adalah catatannya.
Hidup Suryati, yang biasa disapa dengan panggilan mbah Sur, berpuluh tahun dipenuhi nestapa. Ia yang ikut suaminya di Nobo, Argomulyo, Kota Salatiga belakangan berstatus janda setelah sang suami meninggal dunia. Karena rumah warisan diserobot seorang kerabat, akhirnya dirinya kembali ke Dusun Tajuk. Awalnya, seorang keponakan bernama Sugeng (40) tak keberatan menampungnya. Sayang, mbah Sur tak betah sehingga merasa perlu memisahkan diri.
Saking lapuknya, dinding bagian belakang menganga lobang cukup besar sehingga angin leluasa menerobos ke dalam. Entah bagaimana di malam hari, pasalnya, suhu di lokasi yang memiliki ketinggian sekitar 1600 mdpl, jelang sore hari dinginnya minta ampun. Kendati begitu, mbah Sur sangat menikmatinya. " Dingin ya tinggal pakai selimut," ujarnya dalam bahasa Jawa.
Keberadaan mbah Sur, janda duafa tanpa anak yang sehari- hari hanya menjadi buruh serabutan ini, awalnya saya dengar dari penuturan warga setempat. Karena trenyuh, saya langsung melakukan pengecekan lokasi. Kebetulan, ada hamba Allah yang menitipkan sembako. Menggunakan motor, saya melakukan pendakian ke pinggang Merbabu yang berjarak sekitar 23 kilometer dari Kota Salatiga.
Sayang, saat tiba di lokasi, mbah Sur tengah ke pasar Kembangsari, Tengaran, Kabupaten Semarang. Keponakannya yang bernama Sugeng , mengantar saya ke rumah yang dihuni sang nenek. Masya Allah ! Rumah ini sangat tak layak huni. Tidak ada perabot yang berharga, pintunya yang reyot juga terbuka lebar. Terdapat kasur lecek, thermos dan radio mungil teronggok begitu saja.
Sementara untuk memasak, mbah Sur memanfaatkan kayu bakar. Ia tak mempunyai kompor gas, pasalnya, beliau dulu ikut suaminya ke Noborejo, Argomulyo, Kota Salatiga. Sehingga, pas pembagian alat masak, dirinya tidak terdaftar. " Sebaiknya, beliau segera mengurus surat pindah ke sini agar nantinya bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah setempat," kata Sekretaris Kecamatan Getasan, Istichomah saat saya konfirmasi.
Karena belum tercatat sebagai warga Desa Tajuk, lanjut Istichomah, pihaknya kesulitan memberikan bantuan resmi pada mbah Sur. Begitu pula dengan bantuan bedah rumah, hal tersebut tak mungkin dilakukan menggunakan dana pemerintah. Sebab, lahan yang ditempati bukan milik nenek sepuh itu. Penjelasan yang masuk akal.
Setelah mendapat kepastian bahwa mbah Sur belum memungkinkan mendapatkan bantuan pemerintah (secara resmi), akhirnya melalui media sosial keberadaannya saya ekspos. Hasilnya , hanya dalam waktu 15 menit, seorang donatur, yakni Edy Sukarno mengontak saya. Beliau menanyakan kondisi mbah Sur, sekaligus menyatakan kesiapannya membangunkan rumah sederhana. " Tolong dibuatkan Rencana Anggaran Belanja (RAB) dan segera dikirimkan ke saya," pesannya.
Tak perlu birokrasi berbelit, sehari kemudian, beragam material oleh Edy Sukarno langsung dikirim ke lokasi. Esoknya, eksekusi pembangunan rumah berukuran 4 X 6 meter segera dilakukan.Dengan dibantu pemuda setempat, mereka bahu membahu membuatkan rumah mungil untuk duafa ini. Karena bukan reality show stasiun televisi, maka realisasinya makan waktu hampir sepekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H