Di musim penghujan seperti sekarang ini, rasanya lengkap sudah derita Mbah Jono. Demikian pula saat akan buang hajat, karena rumahnya memang tak memiliki fasilitas MCK, otomatis ia harus melepasnya di toilet Pasar Rejosari. " Kalau mandi, biasanya saya ke rumah bu Isami di Tegalrejo yang berjarak sekitar 300 meter dari sini," jelasnya seraya menunjuk arah rumah bu Isami.
Mbah Jono sendiri mengakui, dokumen kependudukan yang dimilikinya, yakni KTP dan KK, semuanya beralamat di jalan Veteran. Selain memegang kartu Indonesia Sehat untuk berobat, ia saban 3 bulan juga menerima bantuan sebesar Rp 500 ribu dari Pemerintah Kota Salatiga. Dengan kondisinya yang seperti itu, dirinya mengaku sudah bahagia.
"Saya juga mengalami memakai baju dan celana dari karung goni yang banyak kutunya, sedangkan sekarang ini, di mana-mana banyak yang jual pakaian. Jadi ya disyukuri saja apa pun kondisinya," ungkap mbah Jono sembari terkekeh.
Filosofi hidup Mbah Jono sendiri sangat sederhana, baginya dengan bertingkah laku baik, maka orang pun akan berbaik-baik terhadap dirinya. Begitu pun soal makan, ia bukan tipe orang serakah. Di mana, bila usai makan maka meski ditawari makanan senikmat apa pun, pasti ditolaknya. "Orang makan itu kalau lagi lapar, bukan kalau ada kesempatan," jelasnya.
Sebelum mengakhiri perbincangan, Mbah Jono sendiri sempat berpesan bahwa dirinya akan hidup di areal pemakaman sampai akhir hayat. Semisal nantinya dipanggil Allah, ia ingin dimakamkan di tempat ini. Maklum, selama 20 tahun berkutat  di makam Sasono Mukti, dia mengaku sangat mengenal tiap jengkal tanahnya.Â
"Kalau suatu saat saya meninggal, terserah mau diletakkan di bawah pohon Kamboja ya boleh, mau dikubur ya syukur. Wong saya juga tidak tahu," ungkapnya enteng. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H