Widiarto (37) yang biasa disapa Widi Batok warga Desa Deresan RT 1 RW 5, Susukan, Kabupaten Semarang layak diacungi jempol. Sebagai penyandang disabilitas, ia enggan menyerah oleh keadaan. Hampir tujuah tahun belakangan, dirinya mengubah limbah kelapa menjadi rupiah.
Limbah kelapa berupa batok yang oleh orang kebanyakan, di tangan Widi diolah menjadi berbagai barang kerajinan tangan dengan harga jual mencapai Rp 50.000 hingga Rp 500.000. Berkat kepiawaiannya tersebut, ia mampu hidup layak seperti galibnya orang normal lainnya. " Saya saat kecil mengalami stroke ringan, akibatnya kaki saya tidak bisa tumbuh normal," ungkap Widi ketika ditemui di rumahnya.
Memang, akibat penyakit yang menderanya, dua kaki yang menopang tubuhnya mengecil dan cenderung bengkok. Kendati memiliki keterbatasan,pria beranak anak satu tersebut pantang putus asa. Gerakannya tetap gesit, bahkan untuk mendukung segala aktifitasnya, dirinya mampu mengendarai sepeda motor seperti galibnya laki- laki kebanyakan.
Menurut Widi, dunia perbatokan sebenarnya baru ia kenal tahun 1998, tepatnya usai tumbangnya orde baru. Di mana, setahun sebelumnya dirinya mengikuti pelatihan di Rehabilitasi Centrum (RC) Kota Surakarta. Oleh para pengajar, berbagai materi ketrampilan mau pun kesenian saban hari diajarkan. Â " Kebetulan saya berminat pada kesenian dan kerajinan tangan berbahan limbah," jelasnya.
Guna mendukung aktifitasnya, Widi menggunakan peralatan seperti bor, gerindra, aplas dan pelitur. Di mana, setelah beragam hasil produksinya telah jadi, selanjutnya difinishing untuk disetorkan pada pemesan. " Setiap barang yang saya produksi, semuanya bersifat limited edition. Jadi, satu dengan lainnya tak bakal sama," tuturnya.
Saat ini, menurut Widi, semua order ia kerjakan sendiri. Namun, bila pesanan mencapai jumlah banyak, dirinya menggandeng siswa sekolah di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kecamatan Susukan untuk membantunya. " Anak- anak sekolah itu ikut secara sukarela karena sifatnya belajar mengolah limbah," jelasnya.
Widi mengaku antusias menggandeng anak- anak sekolah, pasalnya ia tengah merintis berdirinya Rumah Kreatif. Di mana, saban hari Sabtu sore, peserta diajarkan cara membuat kerajinan tangan berbahan baku limbah. Kendati tempat yang digagasnya masih sangat sederhana, namun, suatu hari kelak, dirinya optimis mampu berkembang pesat dan menghasilkan lapangan kerja bagi anak putus sekolah.
Suami dari Rohmiyati tersebut  mengaku, jauh sebelum menekuni limbah kelapa, ia sempat tersesat di jalan yang terang. Di mana, cukup lama dirinya hidup di lingkungan Sarirejo Kota Salatiga sebagai pengelola tempat karaoke. " Karena ingin mengubah hidup, akhirnya kehidupan malam di tahun 2010 saya tinggalkan. Terlebih lagi, saya sudah menikahi perempuan idaman ," katanya.
" Prinsip saya, ora ubet ora ngliwet ( tidak ulet tak bakal menanak nasi), yang penting mampu menjadi juragan bagi diri sendiri sudah cukup. Sebab, dengan segala keterbatasan yang ada pada diri saya, rasanya tak mungkin bekerja pada orang lain," ungkap Widi serius.
Sebelum mengakhiri perbincangannya, Widi masih memaparkan keinginannya. Di mana, dirinya masih ingin belajar pada perajin batok yang kebetulan namanya juga Widi warga Ambarawa , Kabupaten Semarang.Sedangkan yang terakhir, ada keinginan kuat Rumah Kreatif yang dirintisnya benar- benar bermanfaat bagi orang lain yang ingin menciptakan lapangan kerja sendiri.
Itulah sedikit perbincangan dengan Widi, penyandang disabilitas yang menolak menyerah pada keadaan. Segala langkahnya, harusnya mampu menjadi inspirasi bagi orang normal yang malas mencari nafkah. Sebab, faktanya, ayah satu anak itu tetap penuh semangat menjalani kehidupan dan tak memiliki kosa kata mengeluh. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H