Rencana revitalisasi Pasar Rejosari Kota Salatiga yang akan dikerjakan oleh investor dengan dana mencapai Rp 59 miliar, sampai sekarang masih belum jelas juntrungnya. Dampaknya, ratusan pedagang sukses mengalami kebangkrutan karena di lokasi penampungan sementara, omzet penjualan turun drastis.
Bangkrut instan ini diungkapkan oleh Wakil Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Rejosari (P3R) Kota Salatiga, Senin (14/8) sore. Sebelumnya, sekitar pk 09.00 dirinya bersama pengurus P3R lainnya sempat menemui pimpinan DPRD Kota Salatiga guna menyerahkan pengaduan tertulis. "Kami didampingi teman- teman dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kota Salatiga diterima pak Tedy Sulistyo selaku ketua dewan," jelasnya.
Tak sekadar diterima, para pengurus P3R Kota Salatiga juga diizinkan mengikuti rapat paripurna pembahasan penyampaian rancangan kebijakan umum anggaran dan proritas plafon anggaran sementara perubahan APBD Tahun Anggaran 2017 yang juga diikuti Walikota Yulianto SE. Dalam kesempatan tersebut, surat pengaduan dibacakan secara terbuka oleh Tedy Sulistyo, sehingga seluruh peserta rapat mendengar secara langsung segala derita pedagang Pasar Rejosari. "Respon yang kami terima sangat bagus, meski mayoritas pedagang sudah bangkrut tak mampu lagi berdagang," jelas Rukimin.
Celakanya, untuk merealisasikan rencana indah tersebut, investor mematok harga yang mencekik leher. PT Patra Berkah Itqoni (PBI) selaku penyandang dana mewajibkan pedagang harus membayar kios Rp 13.000.000/meter dan Rp 9.000.000/meter untuk los. Spontan beleid itu membuat pedagang meradang, sehingga pengurus P3R Â berulangkali melayangkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Kota Salatiga.
Belakangan, setelah muncul gejolak, harga tersebut direvisi menjadi Rp 6.000.000/meter/kios dan Rp 4.000.000/meter untuk los. Kendati begitu, pedagang masih tetap tak bakal mampu menebusnya. Sebab, hutang- hutang mereka telah menumpuk selama berada di penampungan sementara. Jangankan membayar kios/los, guna bertahan hidup saja sudah megap- megap.
Sayang, dari lima gugatan yang dilayangkan, tak ada satu pun yang dikabulkan. Kendati begitu, pengurus P3R tidak mengenal kosa kata menyerah, mereka terus melakukan perlawanan dengan  mengirim pengaduan ke Presiden Joko Widodo, Ketua DPR RI , Ombudsman RI hingga Gubernur Jawa Tengah. Hasilnya, semuanya diabaikan. "Faktanya kami-kami tetap direlokasi," kata Rukimin.
Menurut Rukimin yang juga didampingi pengurus P3R lainnya, segala sepak terjang pedagang yang tergabung dalam paguyuban, mirip anak yatim piatu yang berjuang sendirian. Dari mayoritas pedagang, semuanya menginginkan agar revitalisasi menggunakan dana APBD atau APBN. Sebab, bila tetap ditangani investor, praktis 95 persen pedagang tak bakal mampu membayarnya.
Mengutip data yang dimilikinya, Rukimin mengatakan, sebelum ada rencana revitalisasi, jumlah pedagang mencapai 400 orang yang terbagi dalam kios mau pun los. Hingga paska kebakaran tahun 2008, angka tersebut mengalami penyusutan karena bangunan pasar tidak direnovasi. " Setelah ada kepastian revitalisasi, jumlah pedagang banyak yang bangkrut hingga sekarang tinggal 80 an orang," jelasnya.
Pukulan paling telak yang dirasakan pedagang, lanjut Rukimin, terjadi paska pengosongan kios mau pun los pada tanggal 1 September 2015. Di mana, seluruh areal pasar akan diratakan dan pedagang diperintahkan masuk ke lokasi penampungan sementara. Setelah pedagang pindah, secara berjamaah pedagang mengalami kebangkrutan karena sepinya pembeli. " Bahkan, banyak yang mengalami sakit parah serta meninggal dunia akibat terlalu memikirkan revitalisasi," jelasnya.
" Yang meninggal masih ada, tapi tanggalnya saya lupa. Sedangkan yang sakit keras akibat tekanan batin sampai sekarang belum sembuh juga ada, salah satunya ibu Siti Fitriyati warga Krasak RT 01 RW 06, Ledok.," ungkapnya.
Ironisnya, kendati para pedagang sudah mengalami kebangkrutan masal dan satu demi satu tumbang, namun investor belum juga memulai pembangunan. Lahan eks pasar hanya dibiarkan mangkrak tertutupi seng. Dengan kata lain, sepertinya hak- hak pedagang dalam mencari nafkah sengaja dirampas. " Untuk itu, dalam waktu dekat kami akan membuat pengaduan ke Komnas HAM," tuturnya seraya diamini puluhan pengurus P3R lainnya.
Sehari Rp 20.000
Perihal kebangkrutan masal tersebut, rasanya kurang bijak bila tidak dikonfirmasikan ke pedagang lainnya. Terkait hal itu, Kartini dan Sudarti, mewakili pedagang perempuan memberikan klarifikasinya. " Sebelum dipindah ke tempat penampungan sementara (direlokasi) setiap hari rata- rata saya mendapatkan penghasilan bersih sekitar Rp 50.000 sehari," kata Kartini.
Dengan keuntungan bersih Rp 50.000 perhari, Kartini mengaku bisa membiayai sekolah anak- anaknya. Namun, setelah direlokasi, pendapatannya langsung turun drastis. Untuk mendapatkan Rp 20.000 perhari saja susahnya setengah mati karena sepinya pembeli. " Kulakan harus hutang dulu, hasilnya buat makan. Akibatnya hutang terus menerus menumpuk," ungkapnya.
Demikian pula dengan Sudarti, kendati sempat bertahan di lokasi penampungan beberapa bulan, akhirnya ia terpaksa harus menyerah. Pasalnya, berdagang juga percuma, selain mengantuk menunggu pembeli, hasil bersih hanya kisaran angka Rp 20.000 an. " Jaman sekarang uang  segitu bisa dapat apa mas ? Ya mendingan  tutup kios, tinggal di rumah," tuturnya geregetan.
Untuk itu, Sudarti, Kartini mau pun pengurus paguyuban lainnya tetap ngotot meminta agar kebijakan revitalisasi yang melibatkan investor dibatalkan dan diganti menggunakan dana APBD. Pembatalan kerja sama seyogyanya dilakukan secepatnya agar virus kebangkrutan mampu dicegah. Demikian pula jumlah pedagang yang sakit hingga berujung meninggal, angkanya bisa ditekan.
" Kami semua sangat- sangat berharap pada bapak Walikota Salatiga untuk membatalkan kerja sama dan membangun pasar ini menggunakan dana APBD. Demikian pula dengan para wakil rakyat, kiranya sudi memperjuangkan nasip kami karena kami berjuang sendirian," ungkap Rukimin setengah meratap.
Demi mendengar rintihan para pedagang ini, siapa pun pasti merasa trenyuh. Pasalnya, selama bertahun- tahun, nasipnya terombang ambing tanpa kejelasan sehingga dipaksa bangkrut dini. Harusnya, pemangku kepentingan di Kota Salatiga segera tanggap dan mengambil langkah tegas. Semisal APBD diambil Rp 20- 25 milyar, diyakini kota ini tak bakal bangkrut, mengingat total APBDnya nyaris mencapai angka Rp 1 triliun. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H