Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bangkrut Massal di Pasar Rejosari Kota Salatiga

14 Agustus 2017   17:10 Diperbarui: 16 Agustus 2017   00:04 11348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampungan sementara pedagang Pasar Rejosari (foto: dok pri)

Hampir dua tahun hanya terpagar seng (foto: dok pri)
Hampir dua tahun hanya terpagar seng (foto: dok pri)
Berdasarkan data yang dimilikinya, pedagang yang jatuh sakit hingga meninggal dunia paska pengosongan meliputi Ibu Wiwik warga Jalan Suropati I nomor 565, Togaten meninggal  tanggal  9 Maret 2017 ,  disusul Kartam warga Togaten RT 04 RW 05 meninggal  tanggal 4 April 2017  dan Tiarso (Sekretaris P3R) warga Jalan Veteran Nomor 101 paska relokasi jatuh sakit dan tanggal 14 Mei 2017.

" Yang meninggal masih ada, tapi tanggalnya saya lupa. Sedangkan yang sakit keras akibat tekanan batin sampai sekarang belum sembuh juga ada, salah satunya ibu Siti Fitriyati warga Krasak RT 01 RW 06, Ledok.," ungkapnya.

Ironisnya, kendati para pedagang sudah mengalami kebangkrutan masal dan satu demi satu tumbang, namun investor belum juga memulai pembangunan. Lahan eks pasar hanya dibiarkan mangkrak tertutupi seng. Dengan kata lain, sepertinya hak- hak pedagang dalam mencari nafkah sengaja dirampas. " Untuk itu, dalam waktu dekat kami akan membuat pengaduan ke Komnas HAM," tuturnya seraya diamini puluhan pengurus P3R lainnya.

Sehari Rp 20.000

Perihal kebangkrutan masal tersebut, rasanya kurang bijak bila tidak dikonfirmasikan ke pedagang lainnya. Terkait hal itu, Kartini dan Sudarti, mewakili pedagang perempuan memberikan klarifikasinya. " Sebelum dipindah ke tempat penampungan sementara (direlokasi) setiap hari rata- rata saya mendapatkan penghasilan bersih sekitar Rp 50.000 sehari," kata Kartini.

Dengan keuntungan bersih Rp 50.000 perhari, Kartini mengaku bisa membiayai sekolah anak- anaknya. Namun, setelah direlokasi, pendapatannya langsung turun drastis. Untuk mendapatkan Rp 20.000 perhari saja susahnya setengah mati karena sepinya pembeli. " Kulakan harus hutang dulu, hasilnya buat makan. Akibatnya hutang terus menerus menumpuk," ungkapnya.

Demikian pula dengan Sudarti, kendati sempat bertahan di lokasi penampungan beberapa bulan, akhirnya ia terpaksa harus menyerah. Pasalnya, berdagang juga percuma, selain mengantuk menunggu pembeli, hasil bersih hanya kisaran angka Rp 20.000 an. " Jaman sekarang uang  segitu  bisa dapat apa mas ? Ya mendingan  tutup kios, tinggal di rumah," tuturnya geregetan.

Untuk itu, Sudarti, Kartini mau pun pengurus paguyuban lainnya tetap ngotot meminta agar kebijakan revitalisasi yang melibatkan investor dibatalkan dan diganti menggunakan dana APBD. Pembatalan kerja sama seyogyanya dilakukan secepatnya agar virus kebangkrutan mampu dicegah. Demikian pula jumlah pedagang yang sakit hingga berujung meninggal, angkanya bisa ditekan.

" Kami semua sangat- sangat berharap pada bapak Walikota Salatiga untuk membatalkan kerja sama dan membangun pasar ini menggunakan dana APBD. Demikian pula dengan para wakil rakyat, kiranya sudi memperjuangkan nasip kami karena kami berjuang sendirian," ungkap Rukimin setengah meratap.

Demi mendengar rintihan para pedagang ini, siapa pun pasti merasa trenyuh. Pasalnya, selama bertahun- tahun, nasipnya terombang ambing tanpa kejelasan sehingga dipaksa bangkrut dini. Harusnya, pemangku kepentingan di Kota Salatiga segera tanggap dan mengambil langkah tegas. Semisal APBD diambil Rp 20- 25 milyar, diyakini kota ini tak bakal bangkrut, mengingat total APBDnya nyaris mencapai angka Rp 1 triliun. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun