" Yang meninggal masih ada, tapi tanggalnya saya lupa. Sedangkan yang sakit keras akibat tekanan batin sampai sekarang belum sembuh juga ada, salah satunya ibu Siti Fitriyati warga Krasak RT 01 RW 06, Ledok.," ungkapnya.
Ironisnya, kendati para pedagang sudah mengalami kebangkrutan masal dan satu demi satu tumbang, namun investor belum juga memulai pembangunan. Lahan eks pasar hanya dibiarkan mangkrak tertutupi seng. Dengan kata lain, sepertinya hak- hak pedagang dalam mencari nafkah sengaja dirampas. " Untuk itu, dalam waktu dekat kami akan membuat pengaduan ke Komnas HAM," tuturnya seraya diamini puluhan pengurus P3R lainnya.
Sehari Rp 20.000
Perihal kebangkrutan masal tersebut, rasanya kurang bijak bila tidak dikonfirmasikan ke pedagang lainnya. Terkait hal itu, Kartini dan Sudarti, mewakili pedagang perempuan memberikan klarifikasinya. " Sebelum dipindah ke tempat penampungan sementara (direlokasi) setiap hari rata- rata saya mendapatkan penghasilan bersih sekitar Rp 50.000 sehari," kata Kartini.
Dengan keuntungan bersih Rp 50.000 perhari, Kartini mengaku bisa membiayai sekolah anak- anaknya. Namun, setelah direlokasi, pendapatannya langsung turun drastis. Untuk mendapatkan Rp 20.000 perhari saja susahnya setengah mati karena sepinya pembeli. " Kulakan harus hutang dulu, hasilnya buat makan. Akibatnya hutang terus menerus menumpuk," ungkapnya.
Demikian pula dengan Sudarti, kendati sempat bertahan di lokasi penampungan beberapa bulan, akhirnya ia terpaksa harus menyerah. Pasalnya, berdagang juga percuma, selain mengantuk menunggu pembeli, hasil bersih hanya kisaran angka Rp 20.000 an. " Jaman sekarang uang  segitu bisa dapat apa mas ? Ya mendingan  tutup kios, tinggal di rumah," tuturnya geregetan.
Untuk itu, Sudarti, Kartini mau pun pengurus paguyuban lainnya tetap ngotot meminta agar kebijakan revitalisasi yang melibatkan investor dibatalkan dan diganti menggunakan dana APBD. Pembatalan kerja sama seyogyanya dilakukan secepatnya agar virus kebangkrutan mampu dicegah. Demikian pula jumlah pedagang yang sakit hingga berujung meninggal, angkanya bisa ditekan.
" Kami semua sangat- sangat berharap pada bapak Walikota Salatiga untuk membatalkan kerja sama dan membangun pasar ini menggunakan dana APBD. Demikian pula dengan para wakil rakyat, kiranya sudi memperjuangkan nasip kami karena kami berjuang sendirian," ungkap Rukimin setengah meratap.
Demi mendengar rintihan para pedagang ini, siapa pun pasti merasa trenyuh. Pasalnya, selama bertahun- tahun, nasipnya terombang ambing tanpa kejelasan sehingga dipaksa bangkrut dini. Harusnya, pemangku kepentingan di Kota Salatiga segera tanggap dan mengambil langkah tegas. Semisal APBD diambil Rp 20- 25 milyar, diyakini kota ini tak bakal bangkrut, mengingat total APBDnya nyaris mencapai angka Rp 1 triliun. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H