Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengubah Musala Maksiat jadi Tempat Salat

12 Agustus 2017   21:39 Diperbarui: 13 Agustus 2017   20:18 3908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyikat tempat wudlu dan tempat pipis (foto: dok pri)

Menyikat tempat wudlu dan tempat pipis (foto: dok pri)
Menyikat tempat wudlu dan tempat pipis (foto: dok pri)
Yang membuat marah, Darmanto membenarkan bahwa musala yang seharusnya menjadi tempat sakral, ternyata kerap dijadikan tempat mabuk anak muda. Bahkan, beberapa kali digunakan oleh pasangan muda berbuat mesum. "Pasangan mesum yang saya pergoki di sini sudah tak terhitung jumlahnya, bahkan pernah ada pasangan yang saya bawa ke Balai Desa," ungkapnya.

Duh!  Laknat akherat apa yang bakal diterima oleh orang-orang yang tersesat di jalan terang tersebut. Jelas- jelas musala untuk beribadah, malah dimanfaatkan bermabukria dan berbuat mesum. Lokasinya yang terpencil, memang nyaman untuk dipakai sarana maksiat. Mendengar hal itu, semakin kuat niat saya mendandani musala "yatim piatu" ini. " Saya akan meminta izin ahli waris, besok saya kabari hasilnya," kata Darmanto.

Ternyata, Darmanto baru Senin (7/8) siang memberikan kabar bahwa ahli waris musala wakaf menginzinkan renovasi ini. Siang itu juga saya langsung ke lokasi untuk menghitung perkiraan biaya yang dibutuhkan. Hasil observasi lapangan, perbaikan membutuhkan dana sekitar Rp 2,5 juta. Untungnya, Ninung Murtini, seorang apoteker di Kota Semarang yang merupakan teman SD saya, langsung mengirim uang Rp 500 ribu. Malam harinya, Ahmad, sahabat saya asal Salatiga datang ke rumah menyerahkan Rp 500 ribu.

Bak disulap, jadi cantik sekarang (foto: dok pri)
Bak disulap, jadi cantik sekarang (foto: dok pri)
Hingga Selasa (8/8) pagi, Faramita warga Pakis, Bringin, Kabupaten Semarang bersama suaminya tiba di lokasi. Ia menyatakan akan membantu pengadaan plafon berikut pemasangannya. Padahal, perkiraan untuk memperbaiki plafon butuh anggaran sekitar Rp 700 ribu bahkan bisa lebih. Sepeninggal Faramita, datang mas Petung juragan bakso di Wates, Getasan, Kabupaten Semarang. Ia menyerahkan uang sebesar Rp 300 ribu berikut kuas.

Bantuan belum berhenti, mas Antok warga Pengilon, Mangunsari, Kota Salatiga membantu cat tembok seberat 5 kg, belakangan kebutuhan cat tembok mencapai 20 kg. Sementara  Charix Isharudin  yang juga warga Salatiga mengirim Rp 100 ribu, jadi total dana yang masuk Rp 1,4 juta. Saya pikir lebih dari cukup untuk memperbaiki dan mengubah agar musala menjadi lebih bermanfaat. Terkait hal tersebut, mulai perbaikan segera dimulai.

Tidak butuh waktu lama, selama tiga hari dikerjakan, musala telah berganti wajah. Tembok yang sebelumnya berwarna hijau, diganti putih bersih. Widi  yang piawai membuat daun pintu, saya beri tugas merealisasikan pintu setebal 3 centimeter. Bahan baku mau pun biaya angkutnya mencapai Rp 600 ribu. Sementara sumbangan Ninung Murtini, saya belanjakan karpet dan meja buat menyimpan mukena. Sisa Rp 200 ribu, saya berikan pada tukang cat sebesar Rp 140 ribu, serta sisanya dibelanjakan kuas roll berikut  cat tembok.

Penerahan kunci kepada Kadus Banggirejo (foto: dok pri)
Penerahan kunci kepada Kadus Banggirejo (foto: dok pri)
Setelah nyaris seminggu penuh wira-wiri Salatiga- Suruh, akhirnya Sabtu (12/8) sore, musala wakaf sudah terlihat cantik. Lantai abu- abu yang sebelumnya terlihat kusam, sekarang sudah dibalut karpet hijau muda. Mukena yang biasanya teronggok di pojok, dibakar karena baunya menyengat hidung. Sebagai gantinya, Yetty Kusrini pemilik Salon Kecantikan di kompleks Taman Sari Salatiga memberikan dua lembar mukena berikut dua lembar sajadah. Daun pintu yang setiap saat bisa didobrak, diganti papan setebal 3 centimeter yang dipasangi gembok besar. Agar ada sedikit cahaya, dipasang lampu led tenaga matahari, sehingga tidak lagi gelap gulita.

Tanpa menunggu lebih lama, Kadus Banggirejo segera saya kontak. Kunci saya serahkan berikut tanggung jawab pengawasannya, tak ada tamu undangan yang menyaksikan. Selain Malaikat di atas sana, hanya disaksikan oleh Widi, pelimpahan kerja keras selama seminggu terealisasi. Badan letih, itu sudah pasti. Namun, melihat musala mini tersebut berubah menjadi lebih bermanfaat, rasanya merupakan kebahagiaan tersendiri. Kiranya, orang- orang yang tidak waras, yang sebelumnya sempat menggunakannya untuk berzina mau pun mabuk, mampu mengubah jalan pikirannya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun