Bangunan kecil yang merupakan musala wakaf di Dusun Banggirejo, Suruh, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang sebenarnya telah berusia 50 tahun. Kendati begitu, posisinya yang berada jauh dari kampung, belakangan kerap dijadikan lokasi maksiat. Dalam sepekan terakhir, saya bersama para sahabat berupaya mengembalikan menjadi tempat salat yang bermatabat. Seperti apa perjalanannya, berikut catatannya.
Kamis (3/8) siang, saat dalam perjalanan  menuju Desa Purworejo yang berjarak sekitar 14 kilometer dari Kota Salatiga, saya tertarik dengan keberadaan bangunan mungil berukuran 3 X 5 meter yang terletak di pinggir jalan sekaligus pinggir sawah. Karena terlihat ada seorang remaja putri usai menunaikan salat Dzuhur di rumah tersebut, saya segera berhenti. Ternyata, ini merupakan musala wakaf seorang warga Desa Suruh, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang tahun 1967.
Karena pintunya terbuka, saya bisa masuk secara leluasa. Hasilnya? Astaghfirullah hal adzim! Plafonnya nyaris remuk, sedikitnya 10 iternit berlobang tanpa ada yang menggantinya. Sementara di pojok, mukena bercampur sajadah teronggok begitu saja. "Di sini hanya untuk salat Dzuhur dan Ashar pak, itu pun yang memanfaatkan para petani dan orang lewat saja," kata remaja siswi SMP yang tak sempat saya tanya namanya.
Setelah mengambil beberapa foto, saya pun meneruskan perjalanan. Hingga sore harinya, setiba di rumah, temuan mengenaskan ini segera saya posting di group Facebook yang ada di Kota Salatiga. Tidak butuh waktu lama, postingan tentang musala "yatim piatu" itu langsung menjadi viral. Ribuan netizen memberikan like berikut komentarnya. Mayoritas, menginginkan musala bisa diperbaiki kendati banyak pula yang omong doang (omdo).
Hanya selang beberapa jam, sedikitnya tiga orang mengontak saya. Dua diantaranya memang sahabat saya di dunia nyata, seorang diantaranya teman di dunia maya. Mereka meminta agar saya menjadi koordinator renovasi musala uzur tersebut. Mengingat saya yang memulai, konsekuensinya saya pula yang harus mengakhiri. Akhirnya permintaan mereka saya iyakan, tentunya setelah mendapat lampu hijau dari ahli waris berikut pamong desa setempat.
Usai mendapat dukungan dari tiga sahabat, Jumat (4/8) saya kembali lagi menuju musala minimalis itu. Tujuannya, menemui Kepala Dusun (Kadus) Banggirejo yang bernama Darmanto. Dengan didampingi Widi, seorang anak muda asal Kota Salatiga, akhirnya saya menemuinya. Pria bertubuh kekar tersebut menjelaskan, untuk memperbaiki musala, harus meminta izin ahli warisnya. "Ahli warisnya H. Zarkasi, sebelum ada restu beliau, sebaiknya ditunda dulu," ujarnya.
Menurut Darmanto, musala wakaf itu memang sehari- hari tidak ada yang merawat karena jauh dari perkampungan. Sedangkan orang yang memanfaatkan kesehariannya para petani yang biasa menggarap sawah di sekitar lokasi. Terkadang, ada satu dua pengguna jalan yang ikut menunaikan salat Dzuhur mau pun Ashar. Sesudah Maghrib, situasinya gelap gulita tanpa menerangan apa pun.
Duh! Â Laknat akherat apa yang bakal diterima oleh orang-orang yang tersesat di jalan terang tersebut. Jelas- jelas musala untuk beribadah, malah dimanfaatkan bermabukria dan berbuat mesum. Lokasinya yang terpencil, memang nyaman untuk dipakai sarana maksiat. Mendengar hal itu, semakin kuat niat saya mendandani musala "yatim piatu" ini. " Saya akan meminta izin ahli waris, besok saya kabari hasilnya," kata Darmanto.
Ternyata, Darmanto baru Senin (7/8) siang memberikan kabar bahwa ahli waris musala wakaf menginzinkan renovasi ini. Siang itu juga saya langsung ke lokasi untuk menghitung perkiraan biaya yang dibutuhkan. Hasil observasi lapangan, perbaikan membutuhkan dana sekitar Rp 2,5 juta. Untungnya, Ninung Murtini, seorang apoteker di Kota Semarang yang merupakan teman SD saya, langsung mengirim uang Rp 500 ribu. Malam harinya, Ahmad, sahabat saya asal Salatiga datang ke rumah menyerahkan Rp 500 ribu.
Bantuan belum berhenti, mas Antok warga Pengilon, Mangunsari, Kota Salatiga membantu cat tembok seberat 5 kg, belakangan kebutuhan cat tembok mencapai 20 kg. Sementara  Charix Isharudin  yang juga warga Salatiga mengirim Rp 100 ribu, jadi total dana yang masuk Rp 1,4 juta. Saya pikir lebih dari cukup untuk memperbaiki dan mengubah agar musala menjadi lebih bermanfaat. Terkait hal tersebut, mulai perbaikan segera dimulai.
Tidak butuh waktu lama, selama tiga hari dikerjakan, musala telah berganti wajah. Tembok yang sebelumnya berwarna hijau, diganti putih bersih. Widi  yang piawai membuat daun pintu, saya beri tugas merealisasikan pintu setebal 3 centimeter. Bahan baku mau pun biaya angkutnya mencapai Rp 600 ribu. Sementara sumbangan Ninung Murtini, saya belanjakan karpet dan meja buat menyimpan mukena. Sisa Rp 200 ribu, saya berikan pada tukang cat sebesar Rp 140 ribu, serta sisanya dibelanjakan kuas roll berikut  cat tembok.
Tanpa menunggu lebih lama, Kadus Banggirejo segera saya kontak. Kunci saya serahkan berikut tanggung jawab pengawasannya, tak ada tamu undangan yang menyaksikan. Selain Malaikat di atas sana, hanya disaksikan oleh Widi, pelimpahan kerja keras selama seminggu terealisasi. Badan letih, itu sudah pasti. Namun, melihat musala mini tersebut berubah menjadi lebih bermanfaat, rasanya merupakan kebahagiaan tersendiri. Kiranya, orang- orang yang tidak waras, yang sebelumnya sempat menggunakannya untuk berzina mau pun mabuk, mampu mengubah jalan pikirannya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H