Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengubah Musala Maksiat jadi Tempat Salat

12 Agustus 2017   21:39 Diperbarui: 13 Agustus 2017   20:18 3908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mushola wakaf yang berusia 50 tahun (foto: dok pri)

Bangunan kecil yang merupakan musala wakaf di Dusun Banggirejo, Suruh, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang sebenarnya telah berusia 50 tahun. Kendati begitu, posisinya yang berada jauh dari kampung, belakangan kerap dijadikan lokasi maksiat. Dalam sepekan terakhir, saya bersama para sahabat berupaya mengembalikan menjadi tempat salat yang bermatabat. Seperti apa perjalanannya, berikut catatannya.

Kamis (3/8) siang, saat dalam perjalanan  menuju Desa Purworejo yang berjarak sekitar 14 kilometer dari Kota Salatiga, saya tertarik dengan keberadaan bangunan mungil berukuran 3 X 5 meter yang terletak di pinggir jalan sekaligus pinggir sawah. Karena terlihat ada seorang remaja putri usai menunaikan salat Dzuhur di rumah tersebut, saya segera berhenti. Ternyata, ini merupakan musala wakaf seorang warga Desa Suruh, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang tahun 1967.

Mushola wakaf yang berusia 50 tahun (foto: dok pri)
Mushola wakaf yang berusia 50 tahun (foto: dok pri)
Keterangan perihal musala wakaf tersebut, terlihat jelas pada tulisan di tembok depan. Di mana, disebutkan bahwa musala merupakan wakaf Purwo Asri (diduga nama orang) yang jadi tempat salat dan tertulis tanggal 10 Mei 1967. Artinya, musala minimalis ini usianya telah mencapai 50 tahun pada bulan Mei lalu. Demi membaca tulisan yang tak rapi tersebut, saya pun tertarik memasukinya. Pasalnya, selain temboknya kusam, rumput di samping dan di halamannya tumbuh subur.

Karena pintunya terbuka, saya bisa masuk secara leluasa. Hasilnya? Astaghfirullah hal adzim! Plafonnya nyaris remuk, sedikitnya 10 iternit berlobang tanpa ada yang menggantinya. Sementara di pojok, mukena bercampur sajadah teronggok begitu saja. "Di sini hanya untuk salat Dzuhur dan Ashar pak, itu pun yang memanfaatkan para petani dan orang lewat saja," kata remaja siswi SMP yang tak sempat saya tanya namanya.

Seperti ini plafonnya, remuk tak berbentuk (foto: dok pri)
Seperti ini plafonnya, remuk tak berbentuk (foto: dok pri)
Cat yang menempel di dinding, awalnya berwarna hijau, tapi karena tergerus jaman menjadi pudar. Sedangkan pintu hanya dibuat dari papan sederhana tanpa kunci mau pun gembok, sehingga siapa pun bebas keluar masuk selama 24 jam. Sementara tidak ada penerangan apa pun, sehingga di malam hari gelap gulita. Duh! Nelangsanya musala ini, saya sangat yakin, sosok yang mewakafkan pasti menangis di alam kubur melihat kondisinya.

Setelah mengambil beberapa foto, saya pun meneruskan perjalanan. Hingga sore harinya, setiba di rumah, temuan mengenaskan ini segera saya posting di group Facebook yang ada di Kota Salatiga. Tidak butuh waktu lama, postingan tentang musala "yatim piatu" itu langsung menjadi viral. Ribuan netizen memberikan like berikut komentarnya. Mayoritas, menginginkan musala bisa diperbaiki kendati banyak pula yang omong doang (omdo).

Pintu ala kadarnya membuat pemabuk nyaman (foto: dok pri)
Pintu ala kadarnya membuat pemabuk nyaman (foto: dok pri)
Ironisnya, banyak netizen yang menyebut bahwa fungsi musala wakaf tersebut telah berubah 180 derajat. Nyaris saban malam kerap dijadikan tempat nyaman untuk bermabuk-mabukan, yang lebih menyedihkan, beberapa pasangan muda berulangkali dipergoki tengah berbuat mesum di bangunan ini. Entah dosa apa yang bakal ditanggung mereka, karena berani melecehkan rumah Allah.

Hanya selang beberapa jam, sedikitnya tiga orang mengontak saya. Dua diantaranya memang sahabat saya di dunia nyata, seorang diantaranya teman di dunia maya. Mereka meminta agar saya menjadi koordinator renovasi musala uzur tersebut. Mengingat saya yang memulai, konsekuensinya saya pula yang harus mengakhiri. Akhirnya permintaan mereka saya iyakan, tentunya setelah mendapat lampu hijau dari ahli waris berikut pamong desa setempat.

Faramita dan suami ikut turun tangan (foto: dok pri)
Faramita dan suami ikut turun tangan (foto: dok pri)
Tempat Maksiat

Usai mendapat dukungan dari tiga sahabat, Jumat (4/8) saya kembali lagi menuju musala minimalis itu. Tujuannya, menemui Kepala Dusun (Kadus) Banggirejo yang bernama Darmanto. Dengan didampingi Widi, seorang anak muda asal Kota Salatiga, akhirnya saya menemuinya. Pria bertubuh kekar tersebut menjelaskan, untuk memperbaiki musala, harus meminta izin ahli warisnya. "Ahli warisnya H. Zarkasi, sebelum ada restu beliau, sebaiknya ditunda dulu," ujarnya.

Menurut Darmanto, musala wakaf itu memang sehari- hari tidak ada yang merawat karena jauh dari perkampungan. Sedangkan orang yang memanfaatkan kesehariannya para petani yang biasa menggarap sawah di sekitar lokasi. Terkadang, ada satu dua pengguna jalan yang ikut menunaikan salat Dzuhur mau pun Ashar. Sesudah Maghrib, situasinya gelap gulita tanpa menerangan apa pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun