Kalangan ibu- ibu di perkampungan mau pun perumahan Kota Salatiga dan sekitarnya mempunyai tradisi unik jelang akhir bulan Ramadan. Di mana, mereka yang mempunyai tanggungan utang di kelompok Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Dasa Wisma hingga pengajian, yakni harus pontang-panting melunasi pinjamannya. Seperti apa tingkah polahnya, berikut catatannya.
Seorang ibu warga Sidorejolor, Sidorejo, Kota Salatiga, sebut saja namanya Umi (35), Senin (13/6) hadir pada pertemuan PKK di kampungnya dalam kondisi lesu. Sepertinya, di dalam tubuhnya sudah tidak ada tenaga yang tersimpan. Ya, hari ini merupakan batas akhir pelunasan utangnya sebesar Rp 3 juta. Sebelum berangkat menemui pengurus PKK, dirinya sudah berkeliling ke sahabat hingga kerabat untuk meminjam sejumlah uang guna menutup pinjamannya.
Berhari-hari Umi berkeliling dari satu rumah sahabat ke rumah kerabat lainnya, sayang, sampai mendekati pertemuan bulanan PKK, uang yang didapat belum juga mampu melunasi pinjamannya. Mau mengadu ke suaminya, dirinya tak punya nyali. Pasalnya, sang suami yang hanya buruh pabrik, merasa telah menyerahkan seluruh gajinya untuk dikelola.
Pada saat mendekati jam D, mendadak Umi teringat ada seorang rentenir di kampungnya yang baik hati. Biasanya, rentenir tersebut mudah memberikan pinjaman dengan bunga 20 persen perbulan. Karena situasi memang genting, sementara uang di tangan baru Rp 2 juta, akhirnya tidak ada pilihan lain kecuali meminjam duit haram. “Alhamdulillah, tiga puluh menit sebelum pertemuan PKK dimulai uang Rp 3 juta sudah di tangan,” ujarnya seperti orang yang tak berdosa.
Apa yang terjadi pada diri Umi, ternyata juga dialami oleh sangat banyak ibu- ibu lainnya. Ibarat penyakit laten tahunan, para ibu, tak dibatasi usia menjelang pertemuan PKK, Dasa Wisma hingga kelompok pengajian, mendadak menderita migrain akut. Bagaimana tidak mumet, wong satu orang ada yang punya tanggungan hingga Rp 10 juta. Celakanya, pelunasan harus hari ini juga.
Bisa dikata, hari-hari belakangan ini, tak terhitung jumlahnya ibu-ibu yang kelimpungan akibat harus menuntaskan kewajibannya. Ibarat dalam panggung politik, virus hutang tersebut lazim disebut masif, terstruktur dan sistematis. Maklum, yang namanya duit bagi kebanyakan orang gurih adanya. Makanya main tubruk saja, tidak berhitung cara bayarnya.
Memang, di berbagai kelompok yang ada di masyarakat, baik PKK, Dasa Wisma hingga kelompok pengajian selalu ada program simpan pinjam yang dikelola pengurusnya. Dibanding pengambilan kredit di lembaga resmi, keberadaan simpan pinjam ini lebih longgar persyaratannya. Sebab, tujuannya untuk membantu anggotanya masing-masing.
Begitu pun soal bunga yang dipatok, relatif sangat terjangkau. Pengurus hanya memberikan bunga pinjaman berkisar 2,5 persen perbulan. Contoh paling mudah, pinjaman Rp 1 juta, dikembalikan selama 4 bulan dengan bunga keseluruhan 10 persen. Artinya saban bulan, cukup membayar angsuran pokok Rp 250 ribu plus bunga Rp 25 rb. Praktis, murah serta tak ribet.
Di beberapa tempat, istilah bunga pinjaman ini dihilangkan. Ada yang memang membebaskan anggotanya yang meminjam dari beban bunga, contohnya di kelompok pengajian. Namun, banya yang hanya mengganti istilah bunga dengan sebutan bagi hasil atau jasa. Kisaran angkanya nyaris sama, antara 2,5 -3 persen perbulan. Biasanya, pelunasan yang diharamkan untuk ditawar juga berlangsung di pertengahan Ramadan.
Pengurus Ikut Pusing
Simpan pinjam di kelompok masyarakat ini, sebenarnya sudah berlangsung puluhan tahun. Kendati persyaratan dan bunga yang harus dibayar relatif ringan, tetapi, faktanya memasuki bulan Ramadan, ibu- ibu yang mempunyai tanggungan sudah mulai kelabakan. Mereka sadar benar, bahwa hari ke 15 puasa, biasanya segala kewajiban hukumnya wajib dilunasi. Karena bagi penabung, hari itu masanya pembagian tabungan berikut bagi hasilnya.
Bila kewajibannya diabaikan, risikonya menerima sanksi sosial berupa jadi bahan olok- olok ibu-ibu lainnya. Lebih celaka, bulan selanjutnya namanya masuk dalam daftar hitam pengurus yang artinya, mau merengek seperti apa pun, tidak bakal diberi pinjaman. Nah, seperti galibnya kebanyakan orang, mereka baru benar-benar berupaya melunasinya pada detik-detik terakhir. Sebelumnya, lebih suka ongkang-ongkang kaki.
Bila ibu-ibu yang memiliki hutang harus pontang-panting cari uang untuk melunasi kewajibannya, demikian pula dengan para pengurus kelompok. Mereka yang sudah masanya mempertanggungjawabkan keuangan, biasanya juga ikut pusing mengejar-ngejar “nasabah”nya. Langkah menjadi debt colector ini, rata- rata dimulai sejak H-7 pertemuan rutin.
Beberapa pengurus PKK, saking geregetannya malah sempat posting di akun media sosial miliknya masing- masing. Prinsipnya, mengeluhkan perilaku para “nasabah” yang tidak tertib dengan komitmennya. Salah satunya adalah ibu Retno (35), warga salah satu perumahan. Dalam status yang dipostingnya, ia mengaku pusing menghitung uang simpan pinjam PKK dan meminta besok agar posisinya diganti orang lain.
Itulah sedikit catatan fenomena sosial di masyarakat Kota Salatiga dan sekitarnya, niat baik untuk saling membantu, menimbulkan persoalan tersendiri di pertengahan bulan Ramadan. Kendati jelas- jelas sudah menjadi penyakit laten tahunan, namun, sepertinya sulit dihilangkan karena telah jadi tradisi. Sepertinya, syahwat berhutang berbunga rendah memang sudah ditahan. Bagaimana dengan kampung Anda? Selamat menjalankan ibadah puasa, jaga diri jaga hati dan jangan lupa, tuntaskan kewajibannya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H