Kendati bentuk fisik Masjid Hasan Ma’arif di , Kecandran, Sidomukti, Kota Salatiga relatif sederhana. Namun, tempat ibadah tersebut disebut- sebut merupakan warisan mantan prajurit (laskar) Pangeran Diponegoro. Seperti apa kondisinya sekarang ? Berikut penelusurannya selama dua hari berturut- turut.
Seperti galibnya bangunan tempo dulu, Masjid Hasan Ma’arif masih terlihat kokoh, mungkin karena proses pembangunannya tidak tersentuh tangan kotor koruptor. Jadi, memasuki usia 1 abad (dua tahun mendatang), masjid ini tak perlu dilakukan perbaikan. Bahkan, memasuki bulan Ramadhan 1438 H ini, saban sore hingga malam selalu dipenuhi aktifitas remaja masjid (Remas) setempat.
Agak susah menelusuri kapan Masjid Hasan Ma’arif ini didirikan, sebab, literatur resmi nyaris tidak ada. Keterangan yang berdasarkan cerita turun temurun yang menyebutkan bahwa masjid tersebut dibangun oleh Kyai Condro, seorang anggota laskar Pangeran Diponegoro.Bila prajurit pejuang lagendaris itu yang mendirikan, maka usia tempat ibadah umat Islam itu umurnya mencapai ratusan tahun. Logikanya, perang Pangeran Diponegoro melawan militer Belanda, terjadi mulai tahun 1825-1830.
Semisal dibangun paska penangkapan Pangeran Diponegoro yang terjadi di Magelang tanggal 28 Maret 1830, maka, hal itu juga kecil kemungkinannya. Sebab, masjid tertua di kota Salatiga , yakni Masjid Damarjati yang yang didirikan oleh Kyai Damarjati, juga seorang veteran perang Diponegoro saja, berdasarkan catatan didirikan tahun 1826. Di mana, almarhum Kyai Damarjati yang menjadi salah satu senopati sang Pangeran, berupaya melebarkan sayap peperangan hingga ke Salatiga. Sementara, konon Masjid Hasan Ma’arif dibangun usai perang Diponegoro.
Situasi tahun 1830, sangatlah berbeda dengan masa sekarang. Kyai Condro yang awalnya ikut mengawal Pangeran Diponegoro ke Magelang bersama 79 prajurit lainnya, saling berpencar. Komunikasi langsung terputus, maklum yang namanya handphone, smarphone mau pun handy talkybelum ada. Sehingga, masing- masing berupaya menyelamatkan diri tanpa melalui koordinasi seperti pasukan jaman sekarang.
Kyai Condro yang waktu itu belum memiliki ilmu agama (Islam) mencukupi, belakangan getol menyebarkan syiar. Di luar urusan keagamaan, ia juga menularkan ilmu bela diri, maklum, mantan veteran perang. Jadi ya ajar kalau dirinya menguasai berbagai cabang bela diri. Hal inilah yang membuat perkampungan sepi penduduk jadi semakin ramai hingga menjadi sebuah dusun.
Keberadaan kampung yang berubah menjadi dusun, belakangan membuat masyarakatnya makin religius sehingga membutuhkan satu tempat untuk beribadah secara berjamaah. Sayang, Kyai Condro ilmunya belum dianggap mumpuni, sehingga ia mengundang sahabatnya asal Magelang bernama Hasan Muarif yang memang piawai dalam mengupas agama Islam.
Duet dua sahabat itu, akhirnya menyepakati untuk mendirikan mushola kecil yang bisa digunakan sholat berjamaah. Hingga pemeluk agama Islam semakin banyak, maka dusun tanpa nama itu mulai dikenal sebagai kawasan Muslim. Dalam perkembangannya, sesudah Kyai Condro mau pun Hasan Muarif wafat, tahun 1919 , Mushola dibongkar dan diperbesar jadi masjid
Sementara dusun yang semakin besar, atas kesepakatan masyarakat setempat dinamakan Desa Kecandran, diambil dari nama Kyai Condro. Dulunya, wilayah ini masuk Kabupaten Semarang. Setelah Salatiga mengalami pemekaran, akhirnya Desa Kecandran diubah menjadi Kelurahan dan termasuk Kecamatan Sidomukti hingga sekarang.
Lantas, seperti apa kondisi Masjid Hasan Ma’arif sekarang ? Ternyata masjid ini masih kokoh seperti dulu. Di mana, di halaman depan juga terdapat jam bencet, alat penentu waktu sholat peninggalan peradaban Islam jaman serba susah. Jam tersebut masih dalam kondisi bagus dan terawat, bahkan dibanding yang ada di Pulutan relatif lebih baik yang ada di sini.
Kendati secara fisik, arsitekturnya mirip Masjid Geseng di Kabupaten Purworejo yang merupakan peninggalan Sunan Geseng, namun, Masjid Hasan Ma’arif sepertinya agak diragukan keberadaannya bila dikaitkan dengan veteran perang Diponegoro. Agar tidak terjadi “kecelakaan” sejarah, akhirnya data tersebut di atas harus diuji di lapangan. Rochani, takmir Masjid Hasan Ma’arif yang ditemui, Kamis (1/6) sore, ternyata tak mampu memberikan penjelasan. “ Langsung ke Haji Muchlasin saja, beliau sekretaris takmir,” katanya.
Untungnya, setelah menunggu sekitar 30 menit di rumahnya, H. Muchlasin bisa ditemui. Ia menjelaskan, kalau Kyai Condro memang benar adanya merupakan sesepuh Kelurahan Kecandran. Beliau juga mantan prajurit Pangeran Diponegoro yang membuka lahan di sini. “ Tapi, kalau beliau yang mendirikan Masjid Hasan Ma’arif, setahu saya bukan,” ungkapnya.
Menurutnya, berdasarkan keterangan saksi- saksi yang sekarang sudah uzur, di jaman pemerintahan kolonial Belanda, tepatnya tahun 1925, seorang warga setempat bernama H. Abdul Khanan membeli lahan milik almarhum Sumo. “ Setelah itu didirikan mushola kecil yang dikelola oleh H. Abdurahman, sampai beliau pulang ke daerah asalnya,” kata H. Muchlasin.
Sepeninggal H. Abdurahman, datang H. Hasan Ma’arif yang selain mengelola mushola juga ikut berjuang melawan penjajahan Belanda. Hingga tahun 1935, menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, mushola dipugar menjadi sebuah masjid. “ Tahun 1948, saat class ke II, Masjid Hasan Ma’arif sempat dipugar lagi. Bahkan tahun 1994 juga direnovasi,” ungkapnya.
Karena jasa H. Hasan Ma’arif cukup besar dalam mengembangkan agama Islam di Kecandran dan juga setia merawat rumah Allahtersebut, maka namanya diabadikan sebagai nama masjid.Lho ? Lantas, apa hubungannya dengan Kyai Condro serta karibnya yang bernama Hasan Muarif ? “ Ya logikanya tidak ada, kalau Kyai Condro adalah laskar Pangeran Diponegoro yang merintis Kelurahan Kecandran benar, tapi kalau terkait Masjid Hasan Ma’arif saya sendiri juga meragukan,” jelas H. Muchlisin mengakhiri perbincangan.
Begitulah hasil penelusuran cikal bakal Masjid Hasan Ma’arif yang santer disebut- sebut sebagai peninggalan Kyai Condro. Agar “kecelakaan” sejarah tak terus menerus berulang, maka dengan keterangan H. Muchlasin ini, semoga semua pihak mampu menerima sekaligus mencernanya. Sebab, nama Hasan Ma’arif dengan Hasan Muarif memang ada kemiripan, hanya beda satu huruf. Selamat menjalankan ibada puasa, jaga diri serta jaga hati. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H