Ketika bangsa Indonesia masih berada dalam cengkraman pemerintahan kolonial Belanda, praktis angka buta huruf teramat sangat tinggi. Kendati begitu, umat Islam sudah mampu menentukan waktu yang tepat untuk menunaikan ibadah sholat. Selama ratusan tahun, mereka menggunakan jam bencet sebagai penentunya. Seperti apa wujutnya, berikut penelusurannya.
Sebelum berbagai jam analog mau pun arloji digital membanjiri Republik ini, kalangan Pondok Pesantren mau pun masjid- masjid besar, sudah mampu menentukan kapan umat Islam harus menunaikan sholat dhuhur, ashar hingga maghrib dengan akurat. Patokan yang digunakan adalah penunjuk waktu yang memiliki sebutan beragam, mulai jam istiwak, jam matahari, jam syamsiyah hingga jam bencet.
Teknologi penentu waktu yang sudah ada sejak peradaban Islam masa lalu ini, dibuat dari lempengan tembaga, berbentuk melengkung setengah lingkaran yang di bagian tembaganya terdapat garis- garis berikut angka. Di antara sisi cekungan, menempel besi melintang yang tengahnya diberi besi runcing. Ketika diterpa sinar matahari, maka bisa terbaca mulai pk 06.00 hingga 17.30.
Bila menilik cara kerjanya, sebenarnya sangat sederhana. Sebab, sinar matahari yang menyorot pada besi runcing mirip jarum, akan menimbulkan bayangan yang ujungnya menunjuk pada garis tertentu. Nah, garis serta angka itulah yang dibaca oleh muazin guna mengumandangkan adzan. Sedangkan kelemahannya, bila cuaca hujan atau di malam hari, maka keberadaannya tidak mungkin terbaca.
Jam bencet terlihat di halaman Kyai Baidhowi atau persis berada depan Masjid Al Asyar, sedangkan di Masjid Jami juga ada di halamannya, konon usianya sudah mencapai ratusan tahun. Sedangkan jam bencet di Masjid Assyarqowi, Pulutan telah tidak difungsikan. Bahkan, posisinya yang berada disamping masjid, terdapat bekas congkelan paksa. Mungkin dianggap barang langka, sehingga mengundang minat pencoleng untuk mengembatnya.
Untuk jam bencet di Masjid Assyarqowi yang dibuat tahun 1957 sepertinya memang sudah tidak dimanfaatkan. Terbukti, dari posisi letaknya yang berada di dekat serambi masjid, otomatis sinar matahari bakal terhalang. Selain itu, besi yang yang biasa melintang berikut jarumnya juga telah raib. Jadi, keberadaannya hanya sekedar pajangan sisa masa lalu.
Berbeda dengan Masjid Assyarqowi, jam bencet di Masjid Al Muttaqin masih terawat dengan baik, belum digerus jaman. Bahkan, muazin tetap memanfaatkannya untuk mengumandangkan adzan, kendati di masjid tersebut juga terdapat jam analog. Kenapa jam bencet tetap dipertahankan di saat teknologi telah berkembang pesat ? Jawabannya sederhana, karena sejak dulu sudah dijadikan patokan dan mempunyai tingkat akurasi yang tinggi, maka warga setempat enggan meninggalkannya.
“ Jam bencet ini, usianya sama persis dengan umur Masjid Al Muttaqin, yakni sekitar 97 tahun. Karena masjid mulai berdiri tahun 1920 dan sudah mengalami tiga kali renovasi,” kata Mohammad Solikin (50) warga setempat.
Menurutnya, di sekitar Kota Salatiga sebenarnya cukup banyak jam bencet di berbagai masjid, namun, karena dianggap sudah ketinggalan jaman, maka keberadaannya hanya dijadikan pelengkap. “ Di masjid kauman, Tingkir Lor juga ada, hanya saya tidak tahu apakah masih difungsikan atau tidak,” ungkapnya.
“ Konsultasi dengan ahli falak dibutuhkan agar penempatannya tetap memiliki tingkat akurasi yang sama. Sebab, bagaimana pun juga, jam bencet itu punya sejarah panjang,” jelasnya menutup perbincangan.
Itulah sedikit penelusuran tentang peninggalan peradaban Islam masa lalu di Kota Salatiga, di mana, ditengah gempuran teknologi, ternyata yang berbau tradisional tetap mampu bertahan. Mungkin, di daerah lain juga banyak ditemui jam bencet ini, hanya orang yang melihatnya kurang mengetahui fungsinya. Selamat menjalankan ibadah puasa saudara, kiranya hal- hal terkait sejarah senantiasa terawat dan terlindungi. Jangan lupa, jaga hati serta jaga diri. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H