Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menelusuri Jejak Sejarah Prostitusi di Salatiga

2 Mei 2017   17:55 Diperbarui: 2 Mei 2017   18:51 28344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siang hari juga buka praktek (foto: dok pri)

Sebelum dirintis berdirinya lokalisasi Sembir, di tahun 60 an para PSK liar biasa mangkal di gang Dieng dan di depan gedung bioskop Reksa. Gang yang hanya selebar 1,5 meter tersebut, dijadikan tempat mangkal perempuan- perempuan bergincu tebal. Untuk  “mengeksekusi” PSK idamannya sendiri, pria hidung belang hanya memanfaatkan sebuah rumah besar berdinding papan. Rumah tersebut tidak memiliki kamar, yang ada hanyalah ruangan besar yang disekat kain korden seadanya.

“ Namanya saja jaman susah, jadi ya hanya dipan kayu berjajar terus penyekatnya menggunakan kain seadanya. Jadi kalau ada PSK melayani pasiennya, sementara PSK lain juga menunaikan tugasnya ya satu  sama lain saling mendengar,” kata H. Bambang Soetopo (70) seorang tokoh masyarakat Kota Salatiga.

Gang Dieng yang menjadi cikal bakal prostitusi (foto: dok pri)
Gang Dieng yang menjadi cikal bakal prostitusi (foto: dok pri)
Mungkin karena dianggap mencemari wajah kota, akhirnya tahun 70 an pemerintah kota (Pemkot) Salatiga mencarikan lokasi yang jauh dari pemukiman. Kawasan yang ditunjuk berupa lereng tandus berundak- undak yang berada di pinggir hutan karet. Dengan letaknya yang memiliki sudut kemiringan hampir 70 derajat, ditambah tidak adanya sarana transportasi, dianggap mampu “membunuh” prostitusi.

Kendati mendapat lokasi yang sangat tidak menguntungkan, namun Samad sang lagenda tidak surut sedikit pun. Ia merintis berdirinya rumah bordil, hasilnya ternyata di luar dugaan. Pria hidung belang rela berjalan kaki sejauh 3- 4 kilometer hanya untuk menyalurkan syahwatnya. Keberhasilan Samad inilah yang memicu gairah mucikari lainnya untuk berlomba mendirikan rumah- rumah bordil ala kadarnya.

“ Samad sendiri setahu saya bukan berasal dari gang Dieng, tapi dia berasal dari salah satu gang di sekitar Jalan Jendral Sudirman bagian atas,” ungkap Bambang Soetopo yang dibesarkan di dekat  kawasan gang Dieng.

Disebut ala kadarnya, karena waktu itu rumah- rumah untuk bertransaksi seks hanya terbuat dari kayu berdinding papan. Bahkan,kasurnya bukan sejenis busa yang empuk mentul- mentul. Namun, hanya kasur kapas lusuh ditopang ranjang kayu sederhana. Tak pelak, bila seorang PSK menunaikan tugasnya, terkadang mengeluarkan bunyi engkrek- engkrek akibat gesekan kayu yang tengah menahan beban.

Di sini, terdapat dua golongan hidung belang. Yang pertama adalah kaum berkantong tipis, ia harus berjalan kaki untuk menuju lokalisasi Sembir (maklum ojek saat itu belum ada). Sedangkan laki- laki terakhir adalah kaum berduit yang tentunya malas berjalan kaki. Waktu itu, di depan Pasar Berdikari terdapat sejumlah angkutan plat hitam berupa sedan- sedan tua dengan berbagai merk. Mobil- mobil tersebut, setiap saat siap mengantar calon konsumen esek- esek baik siang mau pun malam.

Hingga memasuki tahun 90 an, lokalisasi Sembir namanya diubah menjadi Sarirejo. Mungkin pertimbangannya untuk memilah nama sebuah dusun di perbatasan Salatiga yang kebetulan bernama Sembir. Agar tidak menimbulkan kerancuan, akhirnya lokalisasi Sarirejo dipakai dan terus berkembang hingga sekarang.

Sampai memasuki tahun 2000 an, Pemkot Salatiga rupanya sadar diri, lokalisasi  Sarirejo akan menimbulkan stigma negatif bagi nama kota kecil tersebut. Akhirnya, lokalisasi dinyatakan ditutup. Kendati begitu, para mucikari tetap membuka praktik secara sembunyi- sembunyi. Akibatnya, Dinas Sosial, Sat Pol PP dan Polres setempat kerap menggelar operasi pembersihan. Hal tersebut berlangsung terus menerus sampai kisaran tahun 2005.

Karena ladangnya mulai diusik, beberapa mucikari pun berinovasi. Mereka kerap melakukan study banding ke Bandungan, Kabupaten Semarang yang memang terlebih dulu merintis berdirinya karaoke mau pun kafe remang- remang. “ Tahun- tahun itu, saya sering diajak main ke Bandungan oleh seorang mucikari di Sarirejo,” kata salah satu petugas keamanan di Salatiga.

Rupanya, keluyuran ke Bandungan tak sekedar berburu perempuan PSK. Namun, mucikari laki- laki tersebut juga melakukan observasi terhadap bisnis karaoke, ia mempelajari bentuk bangunan, manajemen hingga PK yang layak jual. Sekarang, mucikari tersebut menjadi pemilik beberapa karaoke terbesar di Sarirejo. Begi pun para mantan germo lainnya, secara berjamaah mereka bersatu padu membongkar rumah bordilnya serta menyulap jadi tempat hiburan malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun