“ Rencananya, Salatiga Street Art Festival akan kami gelar secara rutin setiap tahun menjelang tanggal 17 Agustus. Soal didukung sponsor atau tidak, kami tetap jalan terus,” jelas Fikri optimis.
Satu- satunya musuh abadi para seniman jalanan di Salatiga adalah tangan- tangan jahil yang memasang poster mau pun pamlet promosi. Sarana reklame yang terbuat dari kertas, biasanya ditempelkan menggunakan lem secara merata. Akibatnya, selain merusak keindahan mural juga sulit dilepas. “ Otak sipemasang reklame itu entah ditaruh mana,” jelas Fikri.
Dalam hal ini, sepertinya pemerintah kota Salatiga sudah selayaknya mulai merevisi Peraturan Daerah (Perda) tentang reklame. Bila yang ada hanya mengatur perihal tempat dan pajak, maka reklame temple yang jelas- jelas menimbulkan pemandangan tak sedap harus diatur serta dinyatakan haram keberadaannya. Bila wacana revisi diabaikan, maka sama halnya melakukan pembiaran kekumuhan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H