Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Begini Bentuk Mushola dan Ponpes Tionghoa di Salatiga

28 Januari 2017   15:10 Diperbarui: 28 Februari 2017   02:00 5786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mushola yang terletak di Jalan Abiyoso, Dukuh, Sidomukti dan bangunan Pondok Pesantren (Ponpes) di Jalan Argoloyo, Ledok, Argomulyo, Kota Salatiga sama-sama didominasi warna merah menyala mirip Kelenteng. Siapa yang membangunnya? Berikut adalah penelusuran saya tentang warga Tionghoa yang menjadi mualaf.

Bagi yang belum tahu, siapa pun yang melewati bangunan cukup besar ini, pasti “tertipu”. Mereka selalu menganggapnya sebuah kelenteng. Kendati dominasi warna merah membalut pintu gerbang hingga bangunan induknya, bangunan tersebut sebenarnya merupakan Mushola Hidayatullah yang dibangun tahun 2005 lalu.

Mushola Hidayatullah sendiri dibangun dan didirikan di atas lahan milik Almarhum Yoseph Kurnia Jaya, seorang pengusaha Salatiga keturunan Tionghoa. Di mana, dalam perjalanan hidupnya yang penuh warna, Yoseph memantapkan hatinya menjadi mualaf. Terkait hal itu, namanya diubah menjadi Yusuf Hidayatullah.

Gerbang Mushola Hidayatullah (foto: dok pri)
Gerbang Mushola Hidayatullah (foto: dok pri)
Menjadi mualaf bagi Yusuf tak sekedar mengubah status keagamaannya di kolom KTP. Namun, ia juga mendatangkan ustad agar mengajarinya berbagai hal tentang ajaran Islam. Kewajibannya melaksanakan sholat 5 waktu, memberi zakat hingga menyantuni anak yatim tak pernah diabaikannya.

Yusuf tak berhenti begitu saja. Kecintaannya terhadap Islam ditambah rasa kekagumannya atas budaya Tiongkok membulatkan niatnya untuk membangun mushola di lahan miliknya. Hasilnya, jadilah mushola berasa kelenteng yang berdiri megah di tengah perkampungan yang masyarakatnya heterogen.

Bangunan Mushola Hidayatullah (foto: dok pri)
Bangunan Mushola Hidayatullah (foto: dok pri)
Selayaknya tempat ibadah, Mushola Hidayatullah saban hari dimanfaatkan untuk sholat, mengaji, dan aktivitas keagamaan lainnya. Tak jarang didatangkan ustad dari berbagai kota untuk mengisi pengajian. Sayang, tiga tahun setelah berhasil membangun mushola kebanggaannya, Yusuf dipanggil oleh Allah SWT dalam usia 51 tahun.

Menurut anak tiri Alm. Yusuf, yakni Defi, keberadaan Mushola Hidayatullah ternyata sangat efektif dalam upaya syiar Islam. Sebab, dengan adanya mushola berarsitektur Tionghoa ini, belakangan banyak orang yang mengunjunginya. Yang menggembirakan, pengunjung yang datang dari berbagai daerah di Indonesia ini memiliki agama beragam.

Teras Mushola Hidayatullah juga serba merah (foto: dok pri)
Teras Mushola Hidayatullah juga serba merah (foto: dok pri)
Tak Meninggalkan Budaya Leluhur

“Ada yang memang Islam, tetapi ada juga yang bukan pemeluk agama Islam. Dari yang hanya sekedar ingin mengetahui soal agama Islam, akhirnya tak sedikit pengunjung yang menjadi mualaf,” jelasnya.

Diakui oleh Defi, almarhum ayahnya sengaja tidak membuat masjid karena di dekat lokasi sudah terdapat masjid yang relatif cukup besar. Hal itu sengaja dilakukan agar eksistensi masjid yang ada tidak berkurang. “Makanya dibangun mushola saja, yang membedakan dengan masjid, mushola ini tidak dipakai untuk sholat Jumat,” tuturnya.

Sementara berjarak sekitar 2 kilometer dari Mushola Hidayatullah, berdiri sebuah bangunan berarsitektur Tionghoa yang dibalut cat merah berpadu kuning serta hitam. Tempat tersebut adalah Ponpes Mutiara Hati Beriman, milik KH Tio Iskandar Abdurrahman al Hasani alias Chang I Pao.

Pintu gerbang Ponpes Mutiara Hati Beriman (foto: dok pri)
Pintu gerbang Ponpes Mutiara Hati Beriman (foto: dok pri)
Ya, Chang I Pao memang seorang mualaf sejak tahun 1985 lalu. Kendati begitu, begitu cintanya dengan Islam, ia tak mau setengah hati mempelajari seluruh ajaran Islam. Selain sempat kuliah di IAIN Kota Salatiga, dirinya juga aktif memberikan ceramah di berbagai pengajian. Perihal garis keturunan yang mengalir di tubuhnya, mantan karyawan PT Damatex tersebut tidak menepisnya.

“Saya memang keturunan Cina (Tionghoa), terus kenapa? Kan tidak masalah to? Bahkan, saya tak risih dipanggil dengan sebutan Kyai Cino,” ungkapnya suatu hari.

Bila Almarhum Yusuf Hidayatullah sempat membangun mushola yang representatif, KH Tio Iskandar Abdurrahman al Hasani yang biasa disapa dengan panggilan Ustad Iskandar, lebih fokus di bidang pendidikan di mana, untuk merealisasikannya, selain mendirikan taman kanak-kanak (rencananya juga SD), ia pun membangun ponpes.

Antara Almarhum Yusuf dan Iskandar memang memiliki banyak persamaan, di mana selain sama-sama berdarah Tionghoa, menjadi mualaf, juga tinggal di Kota Salatiga. Mereka ternyata tetap tidak meninggalkan budaya leluhurnya terkait soal warna. Terbukti, mushola maupun ponpes yang dibangunnya tetap menggunakan warna merah lambang kegembiraan, kebahagiaan, dan kesejahteraan.

Perpaduan warna kuning adalah lambang kemuliaan, kerajaan, kemakmuran, dan kekayaan. Sedang warna melambangkan energi positif (yang). Itulah sedikit penelusuran tentang warga keturunan Tionghoa di Salatiga yang menjadi mualaf, tetapi tetap tidak serta merta meninggalkan budaya leluhurnya, khususnya terkait arsitektur maupun warna. Xin Nian kuai Le 2017dan Gong Xi Fa Cai! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun