Mushola yang terletak di Jalan Abiyoso, Dukuh, Sidomukti dan bangunan Pondok Pesantren (Ponpes) di Jalan Argoloyo, Ledok, Argomulyo, Kota Salatiga sama-sama didominasi warna merah menyala mirip Kelenteng. Siapa yang membangunnya? Berikut adalah penelusuran saya tentang warga Tionghoa yang menjadi mualaf.
Bagi yang belum tahu, siapa pun yang melewati bangunan cukup besar ini, pasti “tertipu”. Mereka selalu menganggapnya sebuah kelenteng. Kendati dominasi warna merah membalut pintu gerbang hingga bangunan induknya, bangunan tersebut sebenarnya merupakan Mushola Hidayatullah yang dibangun tahun 2005 lalu.
Mushola Hidayatullah sendiri dibangun dan didirikan di atas lahan milik Almarhum Yoseph Kurnia Jaya, seorang pengusaha Salatiga keturunan Tionghoa. Di mana, dalam perjalanan hidupnya yang penuh warna, Yoseph memantapkan hatinya menjadi mualaf. Terkait hal itu, namanya diubah menjadi Yusuf Hidayatullah.
Yusuf tak berhenti begitu saja. Kecintaannya terhadap Islam ditambah rasa kekagumannya atas budaya Tiongkok membulatkan niatnya untuk membangun mushola di lahan miliknya. Hasilnya, jadilah mushola berasa kelenteng yang berdiri megah di tengah perkampungan yang masyarakatnya heterogen.
Menurut anak tiri Alm. Yusuf, yakni Defi, keberadaan Mushola Hidayatullah ternyata sangat efektif dalam upaya syiar Islam. Sebab, dengan adanya mushola berarsitektur Tionghoa ini, belakangan banyak orang yang mengunjunginya. Yang menggembirakan, pengunjung yang datang dari berbagai daerah di Indonesia ini memiliki agama beragam.
“Ada yang memang Islam, tetapi ada juga yang bukan pemeluk agama Islam. Dari yang hanya sekedar ingin mengetahui soal agama Islam, akhirnya tak sedikit pengunjung yang menjadi mualaf,” jelasnya.
Diakui oleh Defi, almarhum ayahnya sengaja tidak membuat masjid karena di dekat lokasi sudah terdapat masjid yang relatif cukup besar. Hal itu sengaja dilakukan agar eksistensi masjid yang ada tidak berkurang. “Makanya dibangun mushola saja, yang membedakan dengan masjid, mushola ini tidak dipakai untuk sholat Jumat,” tuturnya.
Sementara berjarak sekitar 2 kilometer dari Mushola Hidayatullah, berdiri sebuah bangunan berarsitektur Tionghoa yang dibalut cat merah berpadu kuning serta hitam. Tempat tersebut adalah Ponpes Mutiara Hati Beriman, milik KH Tio Iskandar Abdurrahman al Hasani alias Chang I Pao.
“Saya memang keturunan Cina (Tionghoa), terus kenapa? Kan tidak masalah to? Bahkan, saya tak risih dipanggil dengan sebutan Kyai Cino,” ungkapnya suatu hari.
Bila Almarhum Yusuf Hidayatullah sempat membangun mushola yang representatif, KH Tio Iskandar Abdurrahman al Hasani yang biasa disapa dengan panggilan Ustad Iskandar, lebih fokus di bidang pendidikan di mana, untuk merealisasikannya, selain mendirikan taman kanak-kanak (rencananya juga SD), ia pun membangun ponpes.
Antara Almarhum Yusuf dan Iskandar memang memiliki banyak persamaan, di mana selain sama-sama berdarah Tionghoa, menjadi mualaf, juga tinggal di Kota Salatiga. Mereka ternyata tetap tidak meninggalkan budaya leluhurnya terkait soal warna. Terbukti, mushola maupun ponpes yang dibangunnya tetap menggunakan warna merah lambang kegembiraan, kebahagiaan, dan kesejahteraan.
Perpaduan warna kuning adalah lambang kemuliaan, kerajaan, kemakmuran, dan kekayaan. Sedang warna melambangkan energi positif (yang). Itulah sedikit penelusuran tentang warga keturunan Tionghoa di Salatiga yang menjadi mualaf, tetapi tetap tidak serta merta meninggalkan budaya leluhurnya, khususnya terkait arsitektur maupun warna. Xin Nian kuai Le 2017dan Gong Xi Fa Cai! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H