Pungutan liar (pungli) seakan dalam dua hari terakhir sukses membetot perhatian publik, gara- garanya ada operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh jajaran kepolisian di Kementerian Perhubungan.Berita ecek- ecek tersebut jadi heboh lantaran Presiden RI Joko Widodo turun ke tempat kejadian perkara (TKP), berikut catatan saya.
Yang namanya pungli, sebenarnya telah merasuki semua lini kehidupan ttrepublik ini sejak puluhan tahun lalu. Istilah tersebut, dibidani oleh almarhum Laksamana Sudomo, mantan Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) di tahun 1978. Di mana, Presiden Soeharto memerintahkan dirinya untuk memberangus segala bentuk kutipan ilegal. Faktanya, hingga Soeharto lengser serta digantikan lima Presiden, laku culas itu tetap saja berjalan.
Banyak modus operandi (MO) untuk mengutip berbagai pungli, ada yang terang- terangan, namun beberapa di antaranya mengemasnya dengan cantik sehingga masyarakat tak merasa menjadi korban pemerasan aparat. Pasalnya, uang yang dikutip biasanya tidak begitu besar, nominal tersebut bakal mencapai angka yang menggiurkan setelah dikumpulkan. Celakanya, seluruh praktik tipu- tipu itu, sebenarnya bisa berjalan atas restu pimpinan masing- masing instansi.
Tengoklah dunia konstruksi mau pun pengadaan dan jasa, di mana, ranah yang berbau proyek ini, rajin memungut potongan wajib berkisar 5 persen-10 persen dari nilai pekerjaan. Hebatnya lagi, pungli di sini benar- benar dilakukan secara berjamaah. Mulai staf biasa, kepala seksi, kepala bidang hingga kepala dinas, bersatu padu mengutip uang negara. Akibatnya, kualitas proyek ya ecek- ecek karena anggaran banyak yang terpotong sana sini.
Di luar ranah konstruksi, nyaris semua instansi yang berhubungan langsung dengan masyarakat praktis tersandera oleh pungli. Baik instansi pemerintah, kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan. Bagi masyarakat, khususnya yang sering berurusan di instansi- instansi tersebut, bukan merupakan hal aneh bila ada kewajiban menyetorkan ucapan terima kasih karena merasa terbantu. Sepertinya, sogok menyogok bukanlah sesuatu yang tabu.
Lantas kenapa pungli yang jelas-jelas merugikan masyarakat tersebut mampu bertahan puluhan tahun? Jawaban paling sederhana, karena ada pembiaran dari aparat penegak hukum. Bahkan, tidak menutup kemungkinan aparat juga terlibat. Sebab, di jajaran kepolisian sendiri, diketahui memiliki satuan intelijen yang bertugas mengendus berbagai penyimpangan. Selanjutnya, dibuat laporan intelijen (LI) ke pimpinanan mau pun komando yang lebih tinggi.
Susu Tante
Kementerian Perhubungan sendiri, sejak jaman orde baru dikenal sebagai lahan basah pungli. Berbagai bidang yang ditangani kementerian ini, mulai terminal bus, stasiun kereta, pelabuhan hingga bandara diyakini sarat kutipan. Dengan segala kewenangan aparatnya, oknum-oknum pegawai negeri sipil yang bertugas di lapangan, seakan tak mengenal kosa kata haram bagi suap mau pun sogokan.
Di tahun 1990-an, ketika Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) masih berada di bawah Departemen Perhubungan (sekarang Kementerian). Jembatan timbang yang berfungsi sebagai pengontrol muatan angkutan barang, bukan rahasia lagi dikenal menjadi ladang pungli. Kutipan Rp 5.000- Rp 10.000 yang disetorkan para awak truck, biasa disebut sumbangan suka rela tanpa tekanan (susu tante).
Padahal, aksi susu tante berlangsung di depan hidung aparat kepolisian. Sebab, masing-masing jembatan timbang selalu ditempatkan dua personil Polsek sebagai petugas pengamanan. Di sini, ada kisah menarik yang terjadi di jembatan timbang Bawen yang terletak di jalan raya Bawen-Ungaran. Tahun 1992, saya mencium gelagat tak beres di tempat itu, akhirnya saya lakukan investigasi kecil- kecilan bersama seorang rekan.
Tidak butuh waktu lama, hanya berkisar satu jam, saya mendapatkan data bahwa setiap angkutan barang (truck mau pun box), selalu menyerahkan susu tante antara Rp 5.000-Rp 10.000 tergantung berat barang yang dibawanya. Hal tersebut diperkuat keterangan tiga orang awak angkutan yang saya catat identitas dan nomor polisi kendaraannya.
Karena ingin menghentikan praktik curang tersebut, temuan lapangan segera saya publikasikan. Hasilnya, kepala DLLAJR setempat mengalami shock dan harus menjalani perawatan medis selama tiga hari. Sementara Kapolres Salatiga yang membawahi wilayah kabupaten Semarang (waktu itu) AKBP Drs Ign Hari Soeprapto langsung menarik anggotanya dari penugasan pengamanan jembatan timbang.