Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pejuang Lingkungan Ini Bernama Mukidin, Bukan Mukidi

30 Agustus 2016   13:06 Diperbarui: 30 Agustus 2016   15:29 1532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mukidin yang pejuang lingkungan (foto: dok pri)

Bila Mukidi adalah tokoh rekaan Soetantyo Moechlas yang di hari-hari terakhir ini menjadi viral, sebaliknya, nama Mukidin kurang begitu dikenal. Padahal, ia adalah pahlawan sekaligus pejuang lingkungan yang sukses menghijaukan sekitar 150 hektar lahan gundul di perbukitan Gunung Telomoyo, Kabupaten Magelang.

Mukidin warga Desa Ngracah, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang bukan laki-laki sembarangan. Kendati penampilannya sangat bersahaja, namun, dirinya mampu mengubah perbukitan di kaki Gunung Telomoyo yang sebelum gundul, menjadi hijau royo-royo. Di mana, akibat kondisi lahan tersebut, warga hanya mampu mengolah tanah selama semusim.

Sejak 27 tahun silam, Mukidin mulai berpikir bagaimana caranya mengubah kebiasaan warga yang hanya mengolah tanaman semusim tersebut. Terkait hal itu, ia mulai merintisnya dengan melakukan penanaman pohon berkayu keras. “Saya memulainya di kebun milik saya sendiri. Semua lahan yang tersisa, saya tanami kayu mahoni, sengon, mindi dan suren,” jelasnya ketika diajak berbincang.

Sebagian lahan yang dihijaukan (foto: dok pri)
Sebagian lahan yang dihijaukan (foto: dok pri)
Seperti galibnya masyarakat pedesaan, untuk menerima sesuatu hal yang baru, mereka sulit menerimanya. Padahal, apa yang dikerjakan Mukidin sangat bermanfaat bagi kepentingan di masa mendatang. Sebab, tanaman keras bakal meredam longsor di lahan kritis. Kebetulan, wilayah Desa Ngracah konturnya memang merupakan perbukitan.

Secara perlahan, apa yang dilakukan Mukidin, belakangan bisa diterima masyarakat. Mereka mulai menyadari bahwa yang selama ini dikerjakannya sarat manfaat. Terlebih lagi, Mukidin juga memperkenalkan pola tanam tumpang sari, tak pelak warga langsung meresponsnya karena terkait dengan meningkatnya penghasilan. “Berangkat dari kesadaran masyarakat itu, akhirnya 100 hektar lahan kritis bisa kami ubah menjadi lahan hijau,” ungkapnya.

Begitu pun menjelang datangnya musim hujan, Mukidin bersama masyarakat selalu menyambutnya dengan membuat lubang-lubang peresapan di sekitar berbagai pepohonan. Sehingga, saat hujan mengguyur bumi, air tak langsung menerjang desa namun meresap ke bumi. Jerih payah bertahun-tahun itu, sekarang bisa dinikmati oleh warga Ngracah dan sekitarnya.

Setelah 27 tahun memulai penghijauan di perbukitan, dengan dibantu masyarakat Desa Ngracah, sekarang ini lahan di Gunung Telomoyo yang sudah berhasil dihijaukan mencapai 150 hektar. Memang, belum seberapa, namun langkah tersebut tetap berjalan hingga sekarang dan warga telah menuai hasilnya. Sebab, setelah bukit sukses dibuat ijo royo-royo, belakangan di sekitar Desa Ngracah muncul 11 mata air baru.

Lobang peresapan yang dibuat Mukidin dan warga (foto: dok pri)
Lobang peresapan yang dibuat Mukidin dan warga (foto: dok pri)
Penjaga Mata Air

Terkait dengan penanaman pohon berkayu keras ini, Mukidin mempunyai teori sendiri. Di mana, perbukitan yang rawan longsor, bila diguyur hujan secara langsung, maka tanah setiap saat rentan bergerak. Sebaliknya, setelah lahan dipenuhi pepohonan, air hujan tidak langsung menyentuh bumi namun dedaunan bakal menangkapnya lebih dulu. Wow! Masuk akal juga.

Pria yang berusia 50 tahun tersebut, tak sekedar berpikir tentang pentingnya penghijauan di lahan gundul. Ia juga memikirkan bagaimana masyarakat bisa mendapatkan air bersih. Di Gunung Telomoyo, banyak terdapat mata air, celakanya akibat tak ada pengelolaan, aliran air yang sampai di Desa Ngracah sudah terlihat keruh dan tidak layak minum.

Mukidin yang di tahun 90-an belum menjabat sebagai kepala Desa Ngracah, mulai melakukan perawatan terhadap sumber air di Gunung Telomoyo. Selain menghijaukannya, ia juga menjaga mata air agar tak terbuang sia-sia. Hasilnya, setidaknya terdapat 22 sumber air yang sampai sekarang mampu dinikmati warga di empat desa. Sedangkan sisanya, dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian.

Lahan Gunung Telomoyo yang menghijau (foto: dok pri)
Lahan Gunung Telomoyo yang menghijau (foto: dok pri)
Dari 22 mata air, Mukidin bersama masyarakat membaginya berdasarkan azas manfaat. Sumber di Banyu Tarung, Ringin Putih, Delik, Pucung, Kreo 1, Kreo 2, Kreo 3, Puluhan dan Situk digunakan untuk air minum. Sedangkan sumber air Ngampel, Setapruk, Baturan serta Tuk Bugel dimanfaatkan bagi pertanian. Bahkan, menurut warga air juga ada yang dikelola PDAM.

Edukasi yang dilakukan Mukidin akhirnya berbuah manis, ia yang terpilih sebagai kades di tahun 2000 lalu, sempat menduduki jabatannya selama dua periode. Kendati begitu, dirinya tetap konsisten menjaga alam. Masyarakatnya diajarkannya untuk tidak hanya mengambil keuntungan dari alam, namun mereka diberi pembekalan bahwa alam juga harus dirawat.

Undangan dari Istana untuk Mukidin (foto; dok pri)
Undangan dari Istana untuk Mukidin (foto; dok pri)
Atas segala sepak terjangnya itu, Mukidin menerima berbagai penghargaan. Mulai juara II Penggerak Kehutanan di tahun 2006, Kalpataru Jawa Tengah katagori Perintis Lingkungan Hidup tahun 2011, Juara I Konservasi Alam Tingkat Nasional tahun 2012, Juara II Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat tahun 2014, Juara I Program Kampung Iklim tingkat Nasional tahun 2014 dan puluhan penghargaan lainnya. “ Tanggal 17 Agustus 2016 lalu, saya diundang Presiden Joko Widodo untuk mengikuti upacara bendera di Istana,” tukasnya kalem.

Itulah sedikit cerita tentang Mukidin di dunia nyata, bila Mukidi yang hidup di negeri antah berantah saja mampu menghebohkan masyarakat dunia maya, sebaliknya, pria beranak satu ini tetap low profil danbersahaja tersebut, harusnya bisa menginspirasi dunia yang sebenarnya. Di sela kesibukannya mengelola usaha kopi, ia tetap konsisten memberikan edukasi tentang pentingnya menjaga ekosistem alam. Terhadap siapa pun serta di mana pun. Salam lestari! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun