Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

1,5 Abad Gereja Peninggalan Kolonial Belanda di Salatiga

18 Agustus 2016   17:40 Diperbarui: 5 April 2017   03:00 1666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada yang menyangka bahwa Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) yang terletak di Jalan Jendral Sudirman Nomor 1, Kota Salatiga adalah tempat ibadah peninggalan pemerintahan kolonial Belanda. Pasalnya, kendati berada di pusat kota, namun lokasinya terjepit di atara bangunan mall dan gedung bank.

Bila merunut fungsinya sebagai rumah ibadah, tahun ini GPIB sudah berusia 1,5 abad. Namun, sebenarnya bangunan yang ada dibangun oleh militer Belanda di tahun 1823 atau 193 tahun lalu itu awalnya merupakan gudang mesiu. Salatiga yang di zaman kolonial dijadikan basis militer, secara otomatis menjadikan kota kecil tersebut penuh dengan serdadu bule.

Seperti galibnya kota militer, letak Salatiga yang berada di tengah-tengah antara Kota Surakarta dan Semarang, dianggap sangat strategis untuk menjadi penopang logistik mau pun senjata. Terkait hal tersebut, Belanda merasa perlu membangun gudang mesiu. Agar mengurangi resiko buruk yang menimpa warga sipil mau pun warga Belanda, maka lokasi lapangan Tamansari yang jauh dari pemukiman sengaja dipilih.

GPIB yang dijepit mall dan bank (foto: dok pri)
GPIB yang dijepit mall dan bank (foto: dok pri)
Apa yang dikhawatirkan pihak Belanda tentang risiko, ternyata benar adanya. Sekitar tahun 1866 gudang mesiu meledak, tak jelas apakah ada korban jiwa atau tidak. Yang pasti, paska ledakan, pihak Belanda mengubah fungsi bangunan itu menjadi tempat ibadah umat Kristen atau lazim disebut Indische Kerk.

Seperti layaknya bangunan tempo dulu, GPIB juga memiliki arsitektur bergaya Gotik, yakni aliran desain arsitektur dari Perancis yang berkembang di abad 13 an. Hal ini sangat terlihat pada bentuk pintu beratap yang bertudung, sedang di bagian atas bangunan ditemui lonceng yang tertutup atap berbentuk runcing. Sedang bagian jendelanya berbentuk lebar serta tinggi, diduga supaya memudahkan sirkulasi udara berganti.

Jendela dan rumah loncengnya khas gaya Gotik (foto: dok pri)
Jendela dan rumah loncengnya khas gaya Gotik (foto: dok pri)
Salatiga yang pada masa itu berstatus sebagai Gemeente (Kotapraja) memang banyak dihuni warga Eropa, mereka tinggal di kawasan Jalan Toentang yang diharamkan bagi pribumi tinggal di daerah tersebut. Karena hampir 100 persen bule- bule itu beragama Kristen, tentunya dibutuhkan tempat ibadah yang memadai. “ Ada dua tempat ibadah yang dibangun Belanda, satu GPIB dan satunya lagi Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (KGJTU),” Dr Izak Lattu, Kamis (18/8) sore.

Akan Digusur

Pemerintahan Gemeente Salatiga yang secara resmi dibentuk tahun 1927, juga beranggapan bahwa kota di kaki gunung Merbabu ini layak dijadikan destinasi wisata. Untuk itu, Belanda sempat membangun dua hotel megah yang diberi nama hotel Kaloka (Kalitaman)  dan hotel Bergen Dal. Sayang, semuanya sudah lenyap diubah menjadi ruko, perkantoran hingga kompleks perdagangan.

Karena memang letaknya sangat strategis, tak urung keberadaan GPIB juga sempat jadi incaran investor. Tahun 1990 an, ketika lahan milik negara yang berada di sampingnya akan didirikan mall oleh investor, bangunan GPIB sempat akan dicaplok. Untungnya, para jemaat bereaksi keras hingga berujung pada gugatan ke PTUN. Hasilnya, gugatan dimenangkan pihak GPIB hingga mampu bertahan sampai sekarang.

Pintu utama yang berusia ratusan tahun (foto: dok pri)
Pintu utama yang berusia ratusan tahun (foto: dok pri)
Ada sisi menarik dari bangunan yang dibuat di zaman pemerintahan kolonial Belanda ini, kendati menggunakan bahan-bahan sederhana, namun tetap kokoh kendati telah berusia 1,5 abad. Bandingkan dengan pembangunan Terminal 3 Ultimate Bandara  Soekarno-Hatta yang baru saja beroperasi, ternyata mengalami kebanjiran. Sementara GPIB yang dulunya memanfaatkan genting buatan tangan, belum pernah terjadi kebocoran sederas apapun hujan yang turun.

Terlepas suka maupun tak suka terhadap pemerintahan kolonial Belanda, sepertinya ada sisi positifnya, bila dikaitkan dengan mental. Beberapa ratus tahun lalu, tidak ada seorang pun yang berani mencoba–coba korupsi. Sebab, salah-salah bisa ditembak mati tanpa proses peradilan. Sedang sekarang, orang yang mempunyai jabatan berlomba korupsi. Pasalnya, sebesar apa pun kerugiannya, tidak akan dieksekusi mati meski Undang- Undang menjamin adanya hukuman mati bagi koruptor. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun