Tak ada yang menyangka bahwa Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) yang terletak di Jalan Jendral Sudirman Nomor 1, Kota Salatiga adalah tempat ibadah peninggalan pemerintahan kolonial Belanda. Pasalnya, kendati berada di pusat kota, namun lokasinya terjepit di atara bangunan mall dan gedung bank.
Bila merunut fungsinya sebagai rumah ibadah, tahun ini GPIB sudah berusia 1,5 abad. Namun, sebenarnya bangunan yang ada dibangun oleh militer Belanda di tahun 1823 atau 193 tahun lalu itu awalnya merupakan gudang mesiu. Salatiga yang di zaman kolonial dijadikan basis militer, secara otomatis menjadikan kota kecil tersebut penuh dengan serdadu bule.
Seperti galibnya kota militer, letak Salatiga yang berada di tengah-tengah antara Kota Surakarta dan Semarang, dianggap sangat strategis untuk menjadi penopang logistik mau pun senjata. Terkait hal tersebut, Belanda merasa perlu membangun gudang mesiu. Agar mengurangi resiko buruk yang menimpa warga sipil mau pun warga Belanda, maka lokasi lapangan Tamansari yang jauh dari pemukiman sengaja dipilih.
Seperti layaknya bangunan tempo dulu, GPIB juga memiliki arsitektur bergaya Gotik, yakni aliran desain arsitektur dari Perancis yang berkembang di abad 13 an. Hal ini sangat terlihat pada bentuk pintu beratap yang bertudung, sedang di bagian atas bangunan ditemui lonceng yang tertutup atap berbentuk runcing. Sedang bagian jendelanya berbentuk lebar serta tinggi, diduga supaya memudahkan sirkulasi udara berganti.
Akan Digusur
Pemerintahan Gemeente Salatiga yang secara resmi dibentuk tahun 1927, juga beranggapan bahwa kota di kaki gunung Merbabu ini layak dijadikan destinasi wisata. Untuk itu, Belanda sempat membangun dua hotel megah yang diberi nama hotel Kaloka (Kalitaman) dan hotel Bergen Dal. Sayang, semuanya sudah lenyap diubah menjadi ruko, perkantoran hingga kompleks perdagangan.
Karena memang letaknya sangat strategis, tak urung keberadaan GPIB juga sempat jadi incaran investor. Tahun 1990 an, ketika lahan milik negara yang berada di sampingnya akan didirikan mall oleh investor, bangunan GPIB sempat akan dicaplok. Untungnya, para jemaat bereaksi keras hingga berujung pada gugatan ke PTUN. Hasilnya, gugatan dimenangkan pihak GPIB hingga mampu bertahan sampai sekarang.
Terlepas suka maupun tak suka terhadap pemerintahan kolonial Belanda, sepertinya ada sisi positifnya, bila dikaitkan dengan mental. Beberapa ratus tahun lalu, tidak ada seorang pun yang berani mencoba–coba korupsi. Sebab, salah-salah bisa ditembak mati tanpa proses peradilan. Sedang sekarang, orang yang mempunyai jabatan berlomba korupsi. Pasalnya, sebesar apa pun kerugiannya, tidak akan dieksekusi mati meski Undang- Undang menjamin adanya hukuman mati bagi koruptor. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H